SAUJANA SEJARAH KAMPUNG KRAPYAK
DESA PANGGUNGHARJO, KECAMATAN
SEWON, KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARYA
Kampung
Krapyak yang berada di wilayah Desa Panggungharjo Kecamatan Sewon, Kabupaten
Bantul, secara administratif dibagi menjadi 2 pedukuhan yaitu Pedukuhan Krapyak
Wetan dan Pedukuhan Krapyak Kulon. Ketika kita mendengar Kampung Krapyak ini,
yang terlintas dimemori kita pastilah Panggung Krapyak atau Kandang Menjangan,
sebuah bangunan tua yang berdiri di perempatan jalan berbentuk segi empat,
didirikan oleh Sultan Hamengkubuwono I atau Pangeran Mangkubumi, yang merupakan
salah satu elemen dari Sumbu Filosofi Kraton Yogyakarta.
Namun
apabila kita pelajari lebih jauh, sebenarnya keberadaan penamaan daerah Krapyak
memiliki sejarah yang panjang, yakni 160 tahun sebelum adanya Panggung Krapyak
atau Kandang Menjangan itu didirikan. Pada tahun 1611-1613 oleh Panembahan Hanyokrowati atau yang lebih
dikenal sebagai Pangeran Sedo Krapyak telah didirikan sebuah wilayah hutan
rekreasi raja yang berpagar keliling bambu, atau dinamakan krapyak, atau pada
waktu itu dikenal dengan nama Krapyak Beringan. Sedangkan pembangunan Panggung
Krapyak atau Kandang Menjangan oleh Sultan Hamengkubuwono I atau Pangeran
Mangkubumi dilaksanakan pada tahun 1755, fungsi utamanya sudah agak berbeda,
kalau pada masa Panembahan Hanyokrowati dipergunakan sebagai wilayah hutan
rekreasi raja dengan berburu menjangan/kijang, tetapi pada masa Sultan
Hamengkubuwono I atau Pangeran Mangkubumi dipergunakan sebagai tempat olahraga
panahan dengan sasaran kijang/menjangan yang telah ditangkarkan di wilayah
hutan buatan di sebelah selatan Panggung Krapyak, yang sekarang dikenal sebagai
Kampung Janganan. Fungsi lain dari Panggung Krapyak adalah sebagai daerah
pertahanan paling luar dari Kraton Yogyakarta, yaitu berfungsi sebagai menara
pengawas. Apabila ada musuh atau peristiwa yang mencurigakan dari sisi selatan,
maka dapat segera diketahuidari atas Panggung Krapyak dalam jarak pandang 2-3
kilometer, dengan demikian maka prajurit jaga dengan mengendarai kuda bisa
segera menyampaikan laporan ke pengawas di Plengkung Nirboyo atau Plengkung
Gading untuk disampaikan ke prajurit kawal keraton, atau jika keadaan mendesak
karena jarak musuh sudah dekat, maka prajurit jaga bisa menyampaikan kode
dengan panah api/panah sendaren atau kode lainnya, yang mana nyala apinya atau
kode tersebut dapat dilihat dari Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gading
sebagai tanda bahaya.
Bagaimanakah
prosesi perburuan itu dilakukan ?
Pada
masa Panembahan Hanyokrowati (1611), kondisi geografisnya masih berupa hutan
belukar, meskipun bukan hutan yang sangat lebat. Raja dan pengawalnya dengan mengendarai
kuda memasuki semak belukar tersebut untuk memburu kijang yang berkeliaran. Setelah
sampai di tempat tertentu, para pengawal turun dari kuda, kemudian berusaha menggiring kijang/binatang buruan ke
tempat tertentu dengan
suara-suara supaya mudah untuk dibidik, yaitu berupa sebilah bambu jenis “apus” yang dibelah tengahnya tetapi
tidak sampai pisah pada bagian ruas batangnya, dengan menggerakkan ke
depan-belakang maka akan menimbulkan suara berisik prak-prak-prak, peralatan
ini sering dinamakan “keprak” , dan prajurit yang menggiring dinamakan
“ngrapyak”, pada masa sekarang peralatan ini biasa dipergunakan oleh petani
untuk menghalau burung di sawah. Jadi menurut penuturan warga sekitar kata “krapyak” berasal dari
kata “ngrapyak” yang berarti menggiring binatang buruan dengan
suara-suara yang terbuat dari bambu.
Sedangkan
pada masa Sultan Hamengkubuwono I atau Pangeran Mangkubumi (1755), sebagian
daerah tersebut sudah ada yang mendiami, bahkan sebagian sudah terdapat sawah
atau ladang/tegalan, maka dibuatlah semacam hutan buatan disekitar Panggung
Krapyak dan tempat penangkaran kijang atau menjangan untuk mengembang biakkan
menjangan tersebut, yang terbuat dari dari pagar keliling bambu anyaman
yang dinamakan “krapyak”. Jadi kata “krapyak” berarti kandang binatang dari pagar bambu. Sebagaimana diketahui, bahwa
pada tahun 1676 ( yakni 65 tahun pasca
meninggalnya Pangeran Sedo Krapyak) oleh Sunan Amangkurat I yang bertahta di
Pleret telah dibangun benteng keliling untuk Pesanggrahan Garjitowati,yang berarti
“osiking raos ingkang sejatos” (kata
hati yang murni), untuk memindahkan Pesanggrahan Ngeksigondo dan menjadi tempat
peristirahatan para bangsawan Mataram, namun pembangunan ini terhenti karena
adanya Pemberontakan Trunojoyo.Kemudian pada tahun 1719 Sunan Pakubuwono I yang
bertahta di Kartasura berniat melanjutkan pembangunan Pesanggrahan Garjitowati
tersebut namun keburu wafat, dan digantikan oleh Amangkurat IV. Pada tahun 1745
Sunan Pakubuwono II memindahkan keraton Kartasura ke Surakarta atau Sala,
sementara itu di Hutan Paberingan telah dibangun menjadi Kadipaten Mataram di
bawah Tumenggung Jayawinata. Bila sebelumnya dipergunakan sebagai tempat
peristirahatan, di masa Susuhunan Paku Buwono II telah berubah menjadi tempat
pemberhetian layon-layon (jenazah) para
bangsawan Mataram, sebelum kemudian dimakamkan di Imogiri. Pada tahun 1746,
dalam pertempuran dengan Surakarta-VOC, Pangeran Mangkubumi terdesak sampai ke
lereng Gunung Merapi, tetapi senopatinya yaitu Tumenggung Rangga Wirasentika
dapat merebut Kadipaten Mataram dari Tumenggung Jayawinata. Dengan demikian
jelaslah bahwa pada saat pembangunan Panggung Krapyak tersebut pada tahun 1755
kondisi alamnya sudah berubah, bukan lagi hutan belantara tetapi sudah ada yang
mendiaminya dan bahkan sudah ada sawah dan tegalan yang dikelola untuk
penghidupannya, dan disekitar Panggung Krapyak hanyalah hutan-hutan kecil yang
rindang atau hutan tanaman industri yang sengaja dibudidayakan untuk diambil
hasil kayunya.
Tidak
ada dokumen yang mengulas dan menunjukkan secara detail bagaimana prosesi
olahraga memanah pada masa itu. Namun dari penuturan masyarakat sekitar secara
turun-menurun, dapat digambarkan sebagai
berikut : Jika pada masa Panembahan Hanyokrowati, berburu binatang dilakukan
pada pagi hari, tetapi pada masa Sultan Hamengkubuwana ini diselenggarakan pada
waktu menjelang sore hari (mungkin sekitar jam 14.00 atau 15.00 sampai waktu Maghrib). Raja dan
rombongan para bangsawan keraton naik ke atas bangunan Panggung Krapyak lewat
tangga di sisi Barat Laut hingga ke lantai dua bangunan ini, menghadap ke arah
selatan. Disamping rombongan dari Keraton Yogyakarta kemungkinan diundang pula
para bangsawan dari Kerajaan-Kerajaan sahabat, bahkan juga hadir para pejabat
dari Pemerintah Kolonial. Kemudian kijang-kijang hasil penangkaran diambil dari
“hutan janganan” dari
pagar keliling bambu anyaman yang dinamakan “krapyak”, yang berada di sebelah
selatannya dan dilepaskan pada jarak tembak anak panah dari atas bangunan, diiringi
dengan gamelan yang ditempatkan dilantai bawah bangunan, para pemanah yang
terdiri dari para bangsawan segera membidik kijang-kijang tersebut, dan Raja
akan memberikan hadiah khusus pada kijang tertentu yang dijadikan “maskot” pada
olah raga memanah kijang tersebut. Kijang yang terkena anak panah dibawa ke
bawah bangunan itu juga dan dimasak di tempat tersebut oleh para juru masak
keraton yang ikut serta dalam rombongan, kemudian di selenggarakan semacam
pesta “barbeque” dengan menu utama
daging kijang hasil buruan. Diiringi dengan musik gamelan yang terus mengalun
dan juga mungkin dengan menghadirkan para penari keraton, maka pesta berburu
itu semakin nampak meriah dan tentu saja sangat disukai oleh para bangsawan
keraton dan tamu undangan.
Jadi kata “krapyak” menurut masyarakat sekitar ada 2 versi, yaitu yang
pertama berasal dari kata “ngrapyak” yang berarti menggiring binatang buruan
dengan suara-suara dari peralatan yang
terbuat dari bambu yang dibelah, sedangkan versi yang ke dua “krapyak”
adalah berarti tempat penangkaran hewan buruan yang terbuat dari pagar keliling bambu anyaman.
PEMANDIAN UMBUL KRAPYAK DAN LEGENDA
KAWASAN SEGARAN
Selain dari legenda dan folklor tentang
prosesi berburu kijang sebagaimana diuraikan tersebut di atas, masih ada satu
sisi lain dari Kampung Krapyak ini yang sangat penting untuk diketahui oleh
masyarakat dan membutuhkan riset dan studi yang lebih mendalam, yaitu
keberadaan Pemandian Umbul Krapyak dan Kawasan Segaran.
Lokasi Pemandian Umbul Krapyak
terletak di sebelah timur Panggung Krapyak sekitar 400 meter setelah
kuburan krapyak, kemudian ada gang masuk keselatan sekitar 100 meter.
Kondisinya saat ini sangat memprihatinkan, karena Pemandian Umbul Krapyak yang
sebenarnya berukuran cukup besar ini, sekitar 30 x 12 meter, saat ini sudah
tidak nampak lagi rata dengan tanah, karena pada waktu terjadi gempa bumi tahun
2006 tempat pemandian ini dipakai untuk pembuangan bongkaran rumah yang hancur
akibat gempa. Disebelah timurnya, sekitar tahun 1980an masih terdapat gundukan
bangunan yang telah hancur, yang diperkirakan merupakan bangunan rumah yang
diperkirakan merupakan sebuah bangunan pesanggrahan yang cukup besar dan juga
dikelilingi tembok bata setebal 80 cm yang berjarak sekitar 100 meter dari
kompleks Pemandian Umbul Krapyak ini, namun sekitar tahun 1980an juga sudah
dihancurkan untuk jalan kampung.
Didasar kolam Pemandian Umbul
Krapyak ini, tepat ditengah kolam terdapat semacam Yoni kecil berukuran 50 x 50
cm dengan tinggi 70 cm sebagai tempat
keluarnya mata air asli dari tanah untuk mengisi kolam Pemandian ini, dan
ada semacam Lingga sebagai penutup
berukuran diameter sekitar 10 cm dan panjang 40 cm, yang oleh masyarakat
sekitar dikenal sebagai “gandhik”. Ukiran
pada Yoni, menurut cerita adalah berbentuk sulur-sulur dan daunan seperti
bentuk ukiran bergaya Majapahit. Apabila dilakukan penggalian di kolam
Pemandian Umbul Krapyak ini, mungkin masih dapat diketemukan Yoni dan Lingga
ini, sehingga dapat dipelajari lebih lanjut.
Di
sebelah utara Pemandian Umbul Krapyak saat ini masih terdapat peninggalan sumur
tua, yang dimungkinkan masih satu kawasan dengan kompleks Pemandian Umbul
Krapyak tersebut. Sumur Krapyak sudah tidak berfungsi lagi sebagai sumur.
Kondisinya sudah demikian rusak. Lantai di seputar dinding sumur telah banyak
yang pecah dan tidak berbentuk lagi. Bibir atau dinding sumur juga banyak yang
pecah. Tiang sebagai sangkutan roda dan tambang untuk menimba air juga tidak
ada. Kedalaman asli dari sumur juga tidak kelihatan lagi karena sumur ini telah
ditimbun tanah. Kedalam yang dapat dilihat dari sumur ini hanya berukuran
sekitar 80 Cm, pada tahun 1980an masih bisa dilihat kedalaman sumur yang tidak
pernah kering ini sekitar 8 meter, airnya bening dan segar, biasa ditimba
dengan seutas tampar yang dijulurkan kebawah. Diameter dari sumur ini berukuran
115 Cm. Sedang ketebalan bibir sumur adalah 30 Cm. Dinding sumur terbuat dari
susunan batu bata dengan perekat berupa campuran beberapa bahan material
seperti pasir, gamping, dan batu bata merah yang telah dihaluskan. Demikian pun
plester dari sumur ini juga merupakan campuran pasir, batu bata yang
dihaluskan, dan gamping. Pada tahun 1975-1980an, Pemandian Umbul Krapyak ini
masih sering dipakai untuk mandi anak-anak dan bahkan orang dewasa juga dan
sumur tua tersebut biasa juga bisa diminum airnya yang segar langsung dari
timba.
Adapun
Kawasan Segaran adalah sebuah legenda tentang sebuah danau air asin yang berada
disebelah selatan Pemandian Umbul Krapyak. Letak persisnya sekarang di lapangan
Krapyak, yang dibangun pada tahun 1988. Sebelum dipakai untuk lapangan sepak
bola, daerah ini adalah kawasan persawahan yang subur dan airnya berlimpah,
banyak terdapat ikan, karena airnya yang bening mengalir diantara lapisan tanah
berpasir. Legenda Kawasan Segaran ini menyebutkan bahwa danau air asin ini
berhubungan dengan laut selatan jawa, karena di danau ini pernah diketemukan ikan jenis “gereh pethek” , yaitu sejenis ikan laut
atau ikan payau yang bentuknya pipih melebar, panjang badanya sekitar 5 cm, ikan
yang mempunyai nama latin “Leiognathus Equulus” ini untuk
mengkonsumsinya biasa dikeringkan dan diasinkan, cocok untuk tambahan makan
gudangan atau pecel dengan digoreng garing sehingga mirip kerupuk ikan.
Menurut
penuturan masyarakat sekitar, kondisi danau air asin dengan luas sekitar 3
hektar ini semakin lama semakin melebar, sehingga dikhawatirkan dapat
menenggelamkan daerah krapyak dan sekitarnya, maka oleh pihak Kerajaan Mataram (tidak diperoleh informasi di masa
pemerintahan siapa) sumber mata air danau air asin atau yang dikenal dengan
segaran ini ditutup dengan “Gong Siyem” yaitu
sejenis gong yang berdiameter 1 meter terbuat dari logam paduan baja hitam dan
perunggu, setelah terlebih dahulu diselenggarakan upacara “tayuban” atau “nanggap
ledhek” .
Bukti
keberadaan danau air asin ini, sekarang bisa disaksikan di Umbul Sorowajan yang
berada di sebelah selatan kampung Krapyak. Mata air yang tidak pernah kering
atau surut meskipun di musim kemarau ini, mengeluarkan buih-buih berwarna
kuning kehijauan yang merupakan indikasi adanya gas metan, yakni gas dari
lapisan batubara muda yang secara geologis merupakan bukti keberadaan tanah
rawa-rawa di masa lampau.
Panembahan Krapyak / Penembahan
Hanyokrowati juga ahli dalam membangun diantaranya ; tahun 1603 dibangun
Prabyeksa (kediaman raja), tahun 1605 membangun taman Danalaya, tahun 1606
Astana Kapura Ing Kitha Ageng, tahun 1611 dibangun Krapyak Beringan dan masih
banyak bangunan lain. Pada bidang sastra tahun 1612 disusun Babad Demak.
Menurut Serat Kandha yang juga
disebut oleh babad-babad kerajaan, bahwa pada tahun 1605 Penembahan
Hanyokrowati membangun taman Danalaya yang terletak disebelah barat Keraton
Mataram, yang dimaksud di sini ialah
penggalian sebuah kolam di dalam taman indah ‘Danalaya’. Juga Babad Sangkala
(tahun 1527 J) bercerita tentang sebuah kolam : “ Segaran Ing Sinarbumi ” .
Nama terakhir ini menunjukkan terjadinya pengupasan tanah/penggalian dan
pengurukan tanah. Dalam Babad Momana, juga disebutkan adanya pembangunan
Lumbung di Gading pada tahun 1610, untuk keperluan menampung hasil panen dan
persediaan bahan makanan di Kerajaan Mataram.
Dari sini kita mencoba menyatukan
4 hal dalam satu kurun waktu 8 tahun dalam 4 kejadian penting. 1605 membangun
taman Danalaya dan Segaran, 1610 membangun Lumbung Gading, 1611 membuat tempat
berburu Krapyak Beringan, dan 1613 Pangeran Sedo Krapyak wafat. Taman Danalaya
dan Segaran-Lumbung Gading-Krapyak Beringan sampai sekarang posisinya letaknya
belum jelas, kecuali Krapyak Beringan. Sangat besar kemungkinan bahwa Lumbung
Gading itu berada di sekitar Kampung Gading yang terletak di selatan Plengkung
Nirboyo. Maka dapat diasumsikan bahwa Taman Danalaya dan Segaran juga berada di
sekitar wilayah itu, dan dapat dimungkinkan bahwa Pemandian Umbul Krapyak dan
Kawasan Segaran Krapyak adalah lokasi dimana berada Taman Danalaya dan Segaran
itu, atau dengan kata lain bahwa Pemandian Umbul Krapyak adalah Taman Danalaya
yang dibangun oleh Panembahan Hanyokrowati pada tahun 1605 sebagaimana tersebut
dalam Serat Kandha tersebut. Oleh karena itu diperlukan riset dan penelitian
lebih mendalam mengenai keberadaan segitiga emas Danalaya-Gading-Krapyak
tersebut.