TOPONIM
: SEJARAH KAMPUNG SOROWAJAN
DESA
PANGGUNGHARJO, KECAMATAN SEWON, KABUPATEN BANTUL
SOROWAJAN KAMPUNG UKM
Sorowajan
adalah nama kampung yang unik. Kampung yang berbatasan langsung
dengan Ring road selatan ini, secara administratif masuk wilayah
Pedukuhan Glugo, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten
Bantul. Kegiatan ekonomi dan pekerjaan utama penduduk kampung
Sorowajan ini adalah bergerak dibidang UKM, baik sebagai produsen,
jasa maupun berjualan membuka warung kecil untuk kebutuhan masyarakat
sekitar. Maka dapat dikatakan bahwa Kampung Sorowajan adalah
merupakan kampung mandiri secara ekonomi, karena semua kebutuhan
masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari dapat disediakan dan didapat
dikampung ini, sehingga sebenarnya masyarakat tidak perlu keluar
kampung untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-harinya, baik
kebutuhan primer seperti : peralatan sabun cuci, sabun mandi, warung
siap santap, warung kelontong, sembako, warung sayur, bahkan untuk
kebutuhan sekunder seperti tas, kios pakaian, penjahit dan konveksi,
sepatu dan sandal, meubel dan dan lain-lain. Di bidang jasa, di
kampung ini juga bisa didapatkan jasa laundry, bengkel motor, tambal
ban, tukang kayu, tukang batu, tukang cat dan melamine, juga penjahit
pakaian baik untuk produk massal maupun skala konveksi. Usaha lainnya
yaitu : Industri Tahu Tempe, Industri Jamu Tradisional, Industri Tas
Seminar, Industri Kaos, Konveksi, Batik, Kerajinan Rajutan, Kerajinan
Kulit, Jok Kursi, Grosir Sepatu, Ternak Burung Berkicau, Usaha Bahan
Bangunan, Usaha pemancingan, dan lain-lain. Warga Kampung Sorowajan
juga berjualan aneka makanan, seperti : Mie Ayam, Bakso, Sate Ayam
Madura, Warung Angkringan, Warung Gorengan, Bakwan Kawi, Gudheg,
Lotek, Soto, Burger, Ice Juice, Ice Cream, Cilok Bledek, Aneka
panganan dan jajanan pasar, Bubur Sumsum, Klepon, Es Kelapa Muda,
disamping itu juga banyak pedagang makanan keliling yang menjajakan
dagangannya di Kampung Sorowajan ini, seperti Tahu Bulat, Siomay,
Batagor, Empek-Empek, Burjo, Buah potong, Es Doger, Es Jaipong,
Ronde, dan lain-lain.
Jadi
secara ringkas tinggal di Kampung Sorowajan segalanya tersedia di
kampung ini, baik untuk kebutuhan primer maupun sekunder.
SEJARAH KAMPUNG SOROWAJAN
Sebelum
adanya kampung Sorowajan sekarang ini, cikal bakal kampung ini adalah
dikenal adanya sebuah Pesanggrahan Klundo yang sekarang berada
di wilayah RT 12, dimana berdiam Pangeran Soro atau Syech Noor.
Klundo adalah kependekan dari Kluwih-Bendo, dimana ditempat tersebut
dahulu pernah ada pohon kluwih tetapi bagian cabangnya menjulang 2
macam, yang sebelah tetep berbentuk kluwih tetapi cabang yang lainnya
berbentuk pohon bendo baik buah maupun daunnya. Bendo adalah pohon
sejenis sukun-sukunan tetapi permukaan kulitnya runcing dan buahnya
lebih mirip nangka, daunnya berbentuk bulat seperti daun jati (kluwih
dan sukun daunnya menjari), buahnya mirip kluwih tetapi manis dan
wangi seperti cempedak, bentuk dagingnya putih dengan biji berbentuk
bulat seperti biji kluwih, sedangkan nangka atau cempedak dagingnya
berwarna kekuningan dengan biji bulat memanjang.
Ditilik
dari nama dan gelarnya, beliau adalah seorang keturunan bangsawan dan
bahkan putra dari seorang raja yang bertahta, namun tidak ada
keterangan secara jelas, dan tidak ada keluarga dari keturunan beliau
yang sekarang menjadi warga dan mendiami di Kampung Sorowajan ini.
Disamping makam beliau yang telah direnovasi pada tahun 1978,
peninggalan beliau adalah belik sorowajan, yaitu sebuah mata air yang
terus mengalir dan tak pernah berhenti meskipun musim kemarau
panjang. Peninggalan lain adalah Pekuburan Klundo dimana beliau
disemayamkan, termasuk dimakamkan di sini adalah Keluarga Lurah
Krapyak R. Ponco Inggeno (Salah satu kelurahan sebelum penggabungan
menjadi Kelurahan Panggungharjo pada tahun 1946). Siapakah sejatinya
Pangeran Soro atau Syech Noor ini...?
Ada
sementara warga Sorowajan yang berpendapat bahwa Pangeran Soro atau
Syech Noor adalah keturunan Brawijaya V dari Majapahit. Tapi cerita
ini segera terbantahkan, karena nama “Syech” pada waktu itu hanya
digunakan oleh bangsawan atau ulama Keturunan Arab / Timur Tengah.
Cerita
lain, beliau adalah bangsawan dari kerajaan Banten. Pada waktu itu
hubungan Kerajaan Banten dengan Mataram di bawah pemerintahan Sultan
Agung Hanyokrokusumo terjalin sangat baik, bahkan salah satu istri
Sultan Agung yaitu Ratu Kulon adalah Putri dari Kerajaan Cirebon yang
masih saudara dari Kerajaan Banten yaitu keduanya adalah putra dari
Sunan Gunung Jati. Tetapi pada masa
pemerintahan Sunan Amangkurat I hubungan antar kerajaan itu memburuk.
Kemudian cerita ini mengalir, bahwa Pangeran Soro adalah salah satu
dari putra kerajaan Banten atau Kerajaan Surosowan. Untuk mengaburkan
keberadannya beliau memakai nama Pangeran Soro yang merupakan
kependekan dari nama Pangeran Surosowan. Sedangkan nama gelar Syech
Noor, diambil dari gelar Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
yaitu Syeh Nurullah. Maka jelaslah sudah, bahwa Pangeran Soro atau
Syech Noor adalah putra dari Kerajaan Banten Surosowan, yang juga
merupakan keturunan dari Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah).
Bagaimana
seorang Pangeran dari kerajaan Banten bisa sampai di Mataram. Ada 3
versi tentang kedatangan beliau di tanah Mataram. Versi pertama
menyebutkan pada tahun antara 1655-1658 di mana pada waktu itu
Pangeran Soro merupakan utusan dari Sultan Ageng Tirtayasa (Raja ke
6) dari Kerajaan Surosowan Banten, maksud kedatangannya di Mataram
adalah untuk meminta bantuan kepada Mataram dalam perang melawan VOC
di Batavia, sebagaimana diketahui bahwa Mataram di masa pemerintahan
Sultan Agung Hanyokrokusumo pernah menyatakan perang melawan VOC di
Batavia pada tahun 1628-1629. Namun permintaan bantuan dari Pangeran
Soro ini ditolak oleh Sunan Amangkurat I yang pada masa itu justru
malah berhubungan baik dengan VOC, dan karena kegagalannya ini
Pangeran Soro sebagai pimpinan delegasi/utusan merasa malu untuk
kembali ke Kerajaan Banten, dan memilih tinggal di kawasan Mataram.
Versi
ke dua menyebutkan bahwa kedatangan Pangeran Soro ke Mataram pada
tahun 1677 dalam tugas untuk membantu Kerajaan
Cirebon membebaskan 2 putera Pangeran Giriloyo (Sultan Cirebon) yaitu
Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya yang ditahan oleh
Pemberontakan Trunajaya
Versi
ke tiga sebenarnya adalah penggabungan dari
kedua versi sebelumnya, yakni bahwa Pangeran Soro adalah bagian dari
pasukan teliksandi/pasukan intelijen, sehingga keberadaanya di
Kerajaan Mataram sangatlah bersifat rahasia, beliau tidak menampakkan
diri secara mencolok dan tinggal di daerah pinggiran Kerajaan
Mataram. Secara rutin beliau wajib
menyampaikan laporan kepada Kerajaan Banten tentang perkembangan
politik dan pemerintahan yang terjadi di Kerajaan Mataram. Ketika
kedatangan pasukan Banten untuk membebaskan
putra Pangeran Giriloyo (Sultan Cirebon) yaitu
Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya yang ditahan oleh
Pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677 Pangeran Soro sebagai
pasukan telik sandi aktif menyampaikan perkembangan yang terjadi dan
memberikan pertimbangan-pertimbangan mengenai jalur penyerangan dan
strategi pembebasan sandera tersebut.
Dari
ketiga versi tersebut, dapat disimpulkan bahwa versi ketiga merupakan
rangkaian cerita yang paling bisa diterima. Informasi ini juga akan
menjawab, mengapa seorang Pangeran dari kerajaan Banten berada dan
tinggal di Kampung Klundo ? Daerah kampung Klundo pada tahun 1605
(Taman Danalaya - Serat Kandha)
merupakan bagian dari bantaran aliran
sungai kecil buangan dari mata air “segaran krapyak” yang
memiliki legenda berhubungan dengan “pemandian umbul krapyak”,
yang merupakan bagian dari alas krapyak paberingan yang pada tahun
1611 - 1613 digunakan sebagai daerah wisata berburu oleh
Sultan Hanyokrowati atau yang dikenal sebagai Pangeran Sedo Krapyak
(Raja ke 2 Mataram yang bertahta di Keraton Kotagedhe). Secara
geografis daerah ini merupakan daerah pinggiran kerajaan Mataram,
maka sebagai pasukan telik sandi bisa mengamati perkembangan kerajaan
Mataram di Pleret, karena pusat kerajaan hanya sekitar 8 km, jika
berjalan kaki dapat ditempuh sekitar setengah hari (4-6 jam).
Topografi daerah kampung Klundo agak tinggi sekitar satu meter dari
badan air aliran sungai, perbedaan topografi itu sampai sekarang
masih sangat kelihatan, bahkan di sebelah timur daerah segaran
krapyak dikenal sebagai “kampung gunungan” karena perbedaan
topografi yang sangat mencolok itu. Perbedaan elevasi tanah inipun
dinilai sangat strategis sebagai daerah persembunyian dan pertahanan.
Disamping itu wilayah ini juga tidak pernah kekurangan air dan
tanahnya sangat subur, cocok untuk lahan pertanian dan ikan juga bisa
didapatkan dengan mudah disini, sampai dengan tahun 1990an masih
banyak kita jumpai ikan gabus, sepat, wader, cethul, uceng, belut,
dan lain-lain. Kondisi alam yang sepertri ini dinilai sangat
strategis karena bisa mencukupi hidup bagi Pangeran Soro sebagai
pasukan telik sandi sehingga tidak perlu ke pusat kota atau ke pasar
untuk membeli bahan makanan.
Keberadaan
belik sorowajan sebagai peninggalan dari Pangeran Soro juga menjadi
bukti bahwa daerah ini merupakan daerah yang subur dan mata airnya
tidak pernah surut meskipun di musim kemarau. Fenomena geologis pada
masa lampau dapat dilihat dan diamati pada mata air di belik
sorowajan ini, dimana pada tahun 1990an airnya masih cukup jernih
tetapi, sekarang airnya mengeluarkan gelembung-gelembung berwarna
hijau kekuningan, yang merupakan indikasi adanya gas metan yang
keluar bersama mata air. Gas metan merupakan indikasi adanya suatu
lapisan batubara muda dibawah permukaan, dimana pada jaman dahulu
daerah ini merupakan bagian dari daerah rawa-rawa. Menurut legenda
masyarakat, bahwa daerah segaran krapyak yang berada diatas/sebelah
utara kampung Klundo pada jaman dahulu airnya terasa asin, fenomena
air asin ini secara geologis mengindikasikan bahwa ada jebakan air
laut karena proses pengangkatan sebagaimana daerah danau purba yang
ada di sekitar Candi Borobudur.
Jadi pada waktu Pangeran Soro tinggal ditempat ini dapat digambarkan
bukanlah sebuah hutan belantara tetapi sebuah lingkungan yang asri
dan indah, yaitu sudah berupa hamparan lahan pertanian kecil yang
subur disamping aliran sungai kecil dengan mata airnya yang jernih
dan banyak ikannya. Secara geografis, meskipun berada di daerah
pinggiran, namun posisinya sangat strategis karena berada diantara
pusat-pusat keramaian pada jaman itu yaitu : Kerajaan Mataram
Kotagedhe, Kerajaan Mataram Pleret, Pesanggrahan Ngeksigondo,
Perdikan Mangir, dan tempat wisata berburu hutan krapyak paberingan
(yang kemudian direncanakan akan dibangun sebagai Garjitowati).
SIMPULAN
Kesimpulan
akhir tentang toponim Kampung Sorowajan dan jati diri Pangeran Soro
atau Syech Noor, bahwa keberadaan Kampung Sorowajan berhubungan
dengan nama cikal bakal Kampung Sorowajan adalah seorang prajurit
telik sandi atau intelijen dari Kerajaan Surosowan di Banten yang
diberi tugas untuk mengamati, mengawasi, dan melaporkan perkembangan
keadaan politik dan pemerintahan Mataram, serta bisa memfasilitasi
dan membantu merancang strategi pertahanan dan penyerangan ke Mataram
pada saat pembebasan tahanan putera Pangeran Giriloyo (Sultan
Cirebon) yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya yang
ditahan oleh Pemberontakan Trunajaya.
Berdasarkan
uraian di atas, maka Pangeran Soro atau Syech Noor bertempat tinggal
di Kampung Klundo yang kemudian dikenal sebagai Kampung Sorowajan
diantara tahun 1655 – 1677. Jika dirunut secara kronologis
kebelakang, sebagai pasukan telik sandi yang mumpuni / dipercaya
secara professional, beliau pada saat itu berumur sekitar 35 tahun,
jadi beliau lahir sekitar tahun 1620an. Kemudian jika dirunut ke
depan berdasarkan usia general manusia pada umumnya secara rata-rata
pada waktu itu adalah 80 tahun, maka beliau wafat pada sekitar awal
tahun 1700an. Pada tahun ini, pusat pemerintahan Kerajaan Mataram
sudah dipindahkan dari Keraton Pleret ke Keraton Kartasura, dimana
Raja yang berkuasa pada waktu itu adalah pemerintahan Sunan
Amangkurat III ( 1703 – 1704 ) atau Sunan Pakubuwana I / Pangeran
Puger ( 1704 – 1719 ). Jadi beliau tinggal di wilayah Mataram
diantara masa pemerintahan Sunan Amangkurat I dan Sunan Amangkurat
II, jauh sebelum Kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat didirikan oleh
Pangeran Mangkubumi / Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755.
Pada
batu nisan Pangeran Soro atau Syech Noor tertulis dibangun pada
tanggal 06 April 1976, menurut penuturan masyarakat sekitar dibangun
oleh seseorang yang bernama Romo Gandung yang pada waktu itu
berdomisili di Kampung Brontokusuman Yogyakarta, berdasarkan wisik
atau bisikan gaib yang memerintahkan
Romo Gandung untuk mencari makam seorang bangsawan yang sakti untuk
dapat dibangun semestinya sesuai dengan jasa-jasa dan martabatnya
agar dapat dikenang oleh masyarakat.
Tulisan
ini didapatkan dari penuturan masyarakat dan kajian dari beberapa
artikel yang dimuat di situs internet, disusun secara kronologis dan
dikembangkan sehubungan dengan kepentingan penyusunan identitas dan
toponim Kampung Sorowajan Pedukuhan Glugo Desa Panggungharo Kecamatan
Sewon Kabupaten Bantul. Pada perkembangannya tulisan ini dapat
dikoreksi ataupun diluruskan apabila didapat bukti dan fakta-fakta
yang lebih mendukung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar