Gus Salim Jauhar Syarqi
Tak keliru jika dikatakan
bahwa Bulan Ramadhan adalah bulannya Al-Quran, ya karena di dalam
bulan inilah Al-Quran diwahyukan pertama kali kepada Rasulullah, Nabi
Muhammad saw.
Nah, tak salah juga jika dalam Bulannya Al-Quran ini, saya coba
hidangkan khusus untuk Anda semua tentang biografi singkat mahaguru
kami, seorang Maestro Al-Quran, Ulama Besar yang menebar semerbak
harum Al-Quran di manapun ia berada, terutama di Tanah Jawa, dan
menelurkan ribuan Ulama Ahli Quran serta Huffadz Al-Quran yang
tersebar di penjuru Nusantara.
Biografi ini saya sadur sedikit saja dari Buku “MANAQIBUS SYAIKH:
K.H.M. MOENAUWIR ALMARHUM: PENDIRI PESANTREN KRAPYAK YOGYAKARTA” yang
diterbitkan oleh MAJLIS AHLEIN (Keluarga Besar Bani Munawwir)
Pesantren Krapyak, keluaran tahun 1975. Jadi jika Anda ingin
meng-COPY-PASTE biografi beliau ini, mohon SERTAKAN PULA SUMBERNYA,
yakni buku tersebut.
Dalam hal ini, mari kita akan mengenal sedikit tentang beliau dengan menelaah;
- NASAB
- MASA BELAJAR
- AKHLAQ
- DA’WAH
- KAROMAH
- MAQOLAH, serta
- WAFAT DAN PENERUS beliau.
Semoga dengan dikenangnya Seorang Shalih lewat dunia maya ini,
Allah Ta’ala berkenan melimpahkan Rahmatnya kepada kita semua. Selamat
menikmati;
A. NASAB K.H.M. MOENAUWIR
Simbah K.H.M. Moenauwir adalah putra K.H. Abdoellah Rosjad bin K.H. Hasan Bashori.
Dahulu, ada seorang ulama pejuang, K.H. Hasan Bashori namanya, atau
yang lebih dikenal dengan nama Kyai Hasan Besari ajudan Pangeran
Diponegoro. Beliau sangat ingin menghapalkan Kitab Suci Al-Quran namun
terasa berat setelah mencobanya berkali-kali. Akhirnya beliau
melakukan riyadhoh dan bermujahadah, hingga suatu saat Allah swt.
mengilhamkan bahwa apa yang dicita-citakan itu baru akan dikaruniakan
kepada keturunannya.
Begitu pula anak beliau, K.H. Abdoellah Rosjad, selama 9 tahun
riyadhoh menghapalkan Al-Quran, ketika berada di Tanah Suci Makkah,
beliau mendapat ilham bahwa yang akan dianugerahi hapal Al-Quran
adalah anak-cucunya.
K.H. Abdoellah Rosjad dikaruniai 11 orang anak dari 4 orang istri,
salah satunya adalah K.H.M. Moenauwir yang merupakan buah pernikahan
beliau dengan Nyai Khodijah (Bantul).
B. MASA BELAJAR
Guru pertama beliau adalah Ayah beliau sendiri. Sebagai Targhib
(penyemangat) nderes Al-Quran, Sang Ayah memberikan hadiah sebesar Rp
2,50 jika dalam tempo satu minggu dapat mengkhatamkannya sekali.
Ternyata hal ini terlaksana dengan baik, bahkan terus berlangsung
sekalipun hadiah tak diberikan lagi.
K.H.M. Moenauwir tidak hanya belajar Qiro’at (Bacaan) dan Menghafal
Al-Quran saja, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang beliau timba dari
Ulama-ulama di masa itu, di antaranya;
1. K.H. Abdullah (Kanggotan – Bantul)
2. K.H. Cholil (Bangkalan – Madura)
3. K.H. Sholih (Darat – Semarang)
4. K.H. Abdurrahman (Watucongol – Magelang)
Setelah itu, pada tahun 1888 M. beliau melanjutkan pengajian Al-Quran
serta pengembaraan menimba ilmu ke Haramain (Dua Tanah Suci), baik di
Makkah Al-Mukarromah maupun di Madinah Al-Munawwaroh. Adapun Guru-guru
beliau antara lain;
- Syaikh Abdullah Sanqoro
- Syaikh Syarbini
- Syaikh Mukri
- Syaikh Ibrohim Huzaimi
- Syaikh Manshur
- Syaikh Abdus Syakur
- Syaikh Mushthofa
- Syaikh YUSUF HAJAR (Guru beliau dalam Qiro’ah Sab’ah)
Pernah dalam suatu perjalanan dari Makkah ke Madinah, tepatnya di
Rabigh, beliau berjumpa dengan seorang tua yang tidak beliau kenal.
Pak Tua mengajak berjabat tangan, lantas beliau minta didoakan agar
menjadi seorang Hafidz Al-Quran sejati. Lalu Pak Tua menjawab
“Insyaa-Allah.” Menurut K.H. Arwani Amin (Kudus), orang tua itu adalah
Nabiyullah Khidhr a.s.
K.H.M. Moenauwir ahli dalam Qiro’ah Sab’ah (7 bacaan Al-Quran). Dan
salah satunya adalah Qiro’ah IMAM ‘ASHIM riwayat IMAM HAFSH, berikut
inilah SANAD Qiro’ah Imam ‘Ashim riwayat Hafsh K.H.M. Moenawwir sampai
kepada Nabi Muhammad saw., yakni dari;
- Syaikh Abdulkarim bin Umar Al-Badri Ad-Dimyathi, dari
- Syaikh Isma’il, dari
- Syaikh Ahmad Ar-Rosyidi, dari
- Syaikh Mushthofa bin Abdurrahman Al-Azmiri, dari
- Syaikh Hijaziy, dari
- Syaikh Ali bin Sulaiman Al-Manshuriy, dari
- Syaikh Sulthon Al-Muzahiy, dari
- Syaikh Saifuddin bin ‘Athoillah Al-Fadholiy, dari
- Syaikh Tahazah Al-Yamani, dari
10. Syaikh Namruddin At-Thoblawiy, dari
11. Syaikh Zakariyya Al-Anshori, dari
12. Syaikh Ahmad Al-Asyuthi, dari
13. Syaikh Muhammad Ibnul Jazariy, dari
14. Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Kholiq Al-Mishri As-Syafi’i, dari
15. Al-Imam Abi al-Hasan bin As-Syuja’ bin Salim bin Ali bin Musa Al-‘Abbasi Al-Mishri, dari
16. Al-Imam Abi Qosim As-Syathibi, dari
17. Al-Imam Abi al-Hasan bin Huzail, dari
18. Ibnu Dawud Sulaiman bin Najjah, dari
19. Al-Hafidz Abi ‘Amr Ad-Daniy, dari
20. Abi al-Hasan At-Thohir, dari
21. Syaikh Abi al-‘Abbas Al-Asynawiy, dari
22. ‘Ubaid ibnu as-Shobbagh, dari
23. Al-Imam Hafsh, dari
24. Al-Imam ‘Ashim, dari
25. Abdurrahman As-Salma, dari
26. Saadaatina Utsman bin ‘Affan, ‘Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, ‘Ali bin Abi Tholib, dari
27. Rasulullah, Muhammad saw. dari Robbil ‘Aalamiin Allah swt., dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s.
Beliau menekuni Al-Quran dengan Riyadhoh, yakni sekali khatam dalam 7
hari 7 malam selama 3 tahun, lalu sekali khatam dalam 3 hari 3 malam
selama 3 tahun, lalu sekali khatam dalam sehari semalam selama 3
tahun, dan terakhir adalah Riyadhoh membaca Al-Quran selama 40 hari
tanpa henti hingga mulut beliau berdarah karenanya.
Setelah 21 tahun menimba ilmu di Tanah Suci, beliau pun kembali ke kediaman beliau di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1909 M.
C. AKHLAQ
K.H.M. Moenauwir selalu memilih awal waktu untuk menunaikan Sholat,
lengkap dengan Sholat Sunnah Rawatibnya. Sholat Witir beliau tunaikan
11 Raka’at dengan hafalan Al-Quran sebagai bacaannya. Begitu juga
dalam mudawamah beliau terhadap Sholat Isyroq (setelah terbit
Matahari), Sholat Dhuha dan Sholat Tahajjud.
Beliau mewiridkan Al-Quran tiap ba’da Ashar dan ba’da Shubuh. Walau
sudah hapal, seringkali beliau tetap menggunakan Mushaf. Bahkan kemana
pun beliau bepergian, baik berjalan kaki maupun berkendara, wirid
Al-Quran tetap terjaga. Beliau mengkhatamkan Al-Quran sekali tiap satu
minggu, yakni pada hari Kamis Sore. Demikianlah beliau mewiridkan
Al-Quran semenjak berusia 15 tahun.
Waktu siang beliau lewatkan dengan mengajarkan Al-Quran, dan di waktu
senggang beliau masuk ke dalam kamar khusus (dahulu terletak di
sebelah utara masjid) untuk bertawajjuh kepad Allah swt. Sedangkan di
malam hari beliau istirahat secara bergilir di antara istri-istri
dengan demikian adilnya.
Beliau memiliki 5 orang istri, adapun istri kelima, dinikahi setelah wafatnya istri pertama, yakni;
- Nyai R.A. Mursyidah (Kraton Yogyakarta)
- Nyai Hj. Sukis (Wates Yogyakarta)
- Nyai Salimah (Wonokromo Yogyakarta)
- Nyai Rumiyah (Jombang – Jawa Timur)
- Nyai Khodijah (Kanggotan – Yogyakarta)
Begitulah K.H.M. Moenauwir hidup beserta keluarga di tengah
ketenangan, kerukunan, istiqomah dan wibawa, dengan berkah Al-Quranul
Kariim.
Orang hafal Al-Quran (Hafidz) yang beliau akui adalah orang yang
bertakwa kepada Allah, dan Sholat Tarawih dengan hafalan Al-Quran
sebagai bacaannya.
Begitu besar pengagungan beliau terhadap Al-Quran, sampai-sampai
undangan Haflah Khotmil Quran hanya beliau sampaikan kepada mereka
yang jika memegang Mushaf Al-Quran selalu dalam keadaan suci dari
Hadats.
Pernah terjadi seorang santri asal Kotagede dengan sengaja memegang
Mushaf Al-Quran dalam keadaan hadats. Setelah diusut oleh K.H.M.
Moenauwir, akhirnya santri tersebut mengakuinya. Atas pengakuannya, si
santri dita’zir, kemudian dikeluarkan dari Pesantren dalam keadaan
sudah menghapalkan Al-Quran 23,5 juz.
Setiap setengah bulan sekali, beliau memotong rambut, juga tak pernah
diketahui membuka tutup kepala, selalu tertutup, baik itu dengan
kopyah, sorban, maupun keduanya. Menggunting kuku selalu beliau
lakukan tiap hari Jum’at.
Pakaian beliau sederhana namun sempurna untuk melakukan ibadah, rapi
dan bersetrika. Jubah, sarung, sorban, kopyah dan tasbih selalu
tersedia. Pakaian dinas Kraton Yogyakarta selalu beliau kenakan ketika
menghadiri acara-acara resmi Kraton. Untuk bepergian, beliau sering
mengenakan baju jas hitam, sorban, dan sarung.
Beliau tidak suka makan sampai kenyang, terlebih lagi di bulan
Ramadhan, yakni cukup dengan satu cawan nasi ketan untuk sekali makan.
Jika ada pemberian bantuan dari orang, beliau pergunakan sesuai
dengan tujuan pemberinya, jika ada kelebihan, maka akan dikembalikan
lagi kepada pemberinya.
Walau beliau termasuk dalam abdi dalem (anggota dalam) Kraton, namun
beliau tidak suka mendengarkan pementasan Gong Barzanji. Sebagai
hiburan, beliau senang sekali mendengarkan lantunan Sholawat-sholawat,
Burdah dan tentunya Tilawatil Quran.
Para santri beliau perintahkan untuk berziarah di Pemakaman Dongkelan
tiap Kamis Sore. Tiap berziarah, beliau membaca Surah Yasin dan
Tahlil. Apabila terjadi suatu peristiwa yang menyangkut ummat pada
umumnya, beliau mengumpulkan semua santri untuk bersama-sama tawajjuh
dan memanjatkan do’a kehadirat Allah, biasanya dengan membaca Sholawat
Nariyyah 4444 kali atau Surat Yasin 41 kali.
Selain mengasuh santri, beliau tak lantas meninggalkan tugas sebagai
kepala rumah tangga. Tiap ba’da Shubuh, beliau mengajar Al-Quran
kepada segenap keluarga dan pembantu rumah tangga. Nafkah dari beliau,
baik untuk istri-istri maupun anak-anak, selalu cukup menurut
kebutuhan masing-masing. Suasana keluarga senantiasa tenang, tenteram,
rukun, dan tidak sembarang orang keluar-masuk rumah selain atas ijin
dan perkenan dari beliau.
Hampir-hampir beliau tak pernah marah kepada santrinya, selain dalam
hal yang mengharuskannya. Pernah suatu waktu beliau tiduran di muka
kamar santri, tiba-tiba bantal yang beliau pakai diambil secara
tiba-tiba oleh seorang santri, sampai terdengar suara kepala beliau
mengenai lantai. Lantas beliau memanggil santri yang mengambil bantal
tadi seraya berkata; “Nak... saya pinjam bantalmu, karena bantal yang
saya pakai baru saja diambil oleh seorang santri.”
Seringkali beliau memberikan sangu kepada santri yang mohon ijin
pulang ke kampung halamannya, dan sangat memperhatikan kehidupan
santri-santrinya. Para santri pun dianjurkan untuk bertamasya ke luar
pesantren, biasanya sekali tiap setengah bulan, sebagai pelepas penat.
Sebagai layaknya seorang Ulama, K.H.M. Moenauwir juga akrab dan sering mendapat kunjungan dari Ulama-ulama lain, di antaranya;
- Murid-murid Syaikh Yusuf Hajar dari Madinah
- K.H. Sa’id (Gedongan – Cirebon)
- K.H. Hasyim Asy’ari (Jombang)
- K.H.R. Asnawi (Kudus)
- K.H. Manshur (Popongan)
- K.H. Siroj (Payaman – Magelang)
- K.H. Dalhar (Watucongol – Magelang)
- K.H. Ma’shum (Lasem)
- K.H.R. Adnan (Solo)
10. K.H. Dimyati (Tremas – Pacitan)
11. K.H. Idris (Jamsaren – Solo)
12. K.H. Abbas (Buntet – Cirebon)
13. K.H. Siroj (Gedongan – Cirebon)
14. K.H. Harun (Kempek – Cirebon)
15. K.H. Muhammad (Tegalgubuk – Cirebon)
16. Para Kyai dari Jombang dan Pare
17. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan IX
18. B.R.T. Suronegoro
19. K.H. Asy’ari (Wonosobo) yang merupakan teman semasa belajar di Tanah Suci.
Selain dikunjungi, beliau juga kerapkali mengadakan kunjungan balasan
terhadap Para Ulama yang lain, seperti kepada K.H. Hasyim Asy’ari
(Jombang), K.H. Ahmad Dahlan (Yogyakarta), maupun yang lainnya.
Beliau juga mendapat kepercayaan dari pihak Kraton untuk menjadi
anggota JEMANGAH, yakni jama’ah Sholat tetap yang terdiri dari 41
orang Ulama, dimaksudkan sebagai penolak bencana Negara.
D. DAKWAH
Sepulang dari Makkah pada tahun 1909 M., beliau lantas mendakwahkan
Al-Quran di sekitar kediaman beliau di Kauman. Tepatnya di sebuah
langgar kecil milik beliau, tempat tersebut sekarang sudah menjadi
Gedung Nasyiatul ‘Aisyiyyah Yogyakarta.
Lantas pindah ke Gading, tinggal bersama kakak beliau, K.H. Mudzakkir.
Namun karena berbagai sebab, juga atas saran dari K.H. Sa’id
(Pengasuh Pesantren Gedongan, Cirebon), pada tahun 1910 M. beliau pun
hijrah ke Krapyak setelah selesainya pembangunan tempat tinggal dan
komplek pesantren di sana, di tanah milik Bapak Jopanggung yang
kemudian dibeli dengan uang amal dari Haji Ali.
Pada 15 November 1910, Pesantren Krapyak mulai ditempati untuk
mengajar Al-Quran. Dilanjutkan dengan pembangunan Masjid atas prakarsa
K.H. Abdul Jalil.
Konon, K.H. Abdul Jalil dalam memilih tempat untuk pembangunan masjid,
adalah dengan menggariskan tongkatnya di atas tanah sehingga
membentuk batas-batas wilayah yang akan dibangun masjid. Dengan
Kehendak Allah, wilayah yang dilingkupi garis itu tidak ditumbuhi
rumput.
K.H.M. Moenauwir selalu mengerahkan segenap santri untuk melakukan
amaliyah membaca Surah Yasin tiap selesai pembangunan berlangsung.
Pembangunan terus berlanjut secara bertahap, mulai dari masjid, akses
jalan, dan gedung komplek santri hingga tahun 1930 M.
Di Pesantren Krapyak inilah beliau memulai berkonsentrasi dalam
pengajaran Al-Quran. Para santri sangat menghormati beliau, bukan
karena takut, melainkan karena Haibah, wibawa beliau.
Pengajian pokok yang diasuh langsung oleh K.H.M. Moenauwir adalah
Kitab Suci Al-Quran, yakni terbagi atas 2 bagian; BIN-NADZOR (membaca)
dan BIL-GHOIB (menghafal). Santri bermula dari Surat Al-Fatihah,
lantas Lafadz Tahiyyat sampai dengan Shalawat Aali Sayyidina Muhammad,
kemudian Surat An-Nas sampai Surat An-Naba’, baru kemudian Surat
Al-Fatihah diteruskan ke Surat Al-Baqoroh sampai khatam Surat An-Nas.
Selain itu, pengajian Kitab-kitab juga digelar sebagai penyempurna.
Suatu hari pada tahun 1910, seorang santri dari Purworejo, yang
dianggap mampu oleh beliau, diperintahkan; “Ajarkanlah ilmu Fiqh
kepada santri-santri di hari Jum’at, biarlah mereka mengenal air.”
Begitu seterusnya berkembang, baik kitab Fiqh maupun Tafsir, makin
menonjol disamping Pengajian Al-Quran yang utama. Beliau mengajar
secara sistem MUSYAFAHAH, yakni sorogan, tiap santri langsung membaca
di hadapan beliau, jika ada kesalahan beliau langsung membetulkannya.
Adab (Tata Krama) dalam pengajian Al-Quran sangat beliau tekankan
kepada para santri. Berbagai aturan dan ta’ziran beliau berlakukan
terhadap para santri. Untuk santri yang telah khatam, maka
dipanjatkanlah doa untuknya langsung oleh K.H.M. Moenauwir, lantas
diberikanlah baginya sebuah Ijazah, yang intinya berisi pengakuan Ilmu
dari guru kepada muridnya serta Tarottubur-Ruwat (Urutan Riwayat)
atau Sanad dari Sang Guru sampai kepada Rasulullah saw. secara
lengkap.
Banyak di antara murid-murid beliau yang juga meneruskan perjuangan di
kampung masing-masing, berupa mendakwahkan Islam pada umumnya, dan
pengajaran Al-Quran pada khususnya. Misal;
- K.H. Arwani Amin (Kudus)
- K.H. Badawi (Kaliwungu – Semarang)
- Kyai Zuhdi (Nganjuk – Kertosono)
- K.H. Umar (Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan – Solo)
- Kyai Umar (Kempek – Cirebon)
- K.H. Noor (Tegalarum – Kertosono)
- K.H. Muntaha (Pesantren Al-Asy’ariyyah, Kalibeber – Wonosobo)
- K.H. Murtadho (Buntet – Cirebon)
- Kyai Ma’shum (Gedongan – Cirebon)
10. K.H. Abu Amar (Kroya)
11. K.H. Suhaimi (Pesantren Tamrinus Shibyan, Benda – Bumiayu)
12. Kyai Syathibi (Kyangkong – Kutoarjo)
13. K.H. Anshor (Pepedan – Bumiayu)
14. K.H. Hasbullah (Wonokromo – Yogyakarta)
15. Kyai Muhyiddin (Jejeran – Yogyakarta)
16. Haji Mahfudz (Purworejo)
Untuk para Mutakhorrijiin (Alumni), beliau senantiasa menjalin
hubungan dan bimbingan, bahkan berupa kunjungan ke tempat
masing-masing.
F. MAQOLAH
- Sebuah Hadits Riwayat Abi Hurairah bahwa Nabi Muhammad
saw., bersabda; “Yaa Aba Hurairah, pelajarilah Al-Quran dan
ajarkanlah kepada orang lain. Tetaplah engkau seperti itu hingga mati.
Sesungguhnya jikalau kamu mati dalam keadaan seperti itu, malaikat
berhaji ke kuburmu sebagaimana kaum Mukminin berhaji ke Baitullah
al-Haram.”
- Sebuah sya’ir; “Semua ilmu termuat di dalam Al-Quran – Hanya saja orang-orang tak mampu memahami seluruh kandungannya.”
- “Jikalau engkau bermaksud akan sesuatu, maka bacalah Surah Yasin.”
- “Kalau mengaji Al-Quran, maka kajilah sampai khatam, supaya menjadi orang mulya.”
- “Waktu luang yang tidak digunakan untuk nderes Al-Quran adalah kerugian yang besar.”
- “Setelah seseorang hafal Al-Quran, maka haruslah ia TIDAK suka
omong kosong dan TIDAK menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja
mencari dunia.”
- “Wahai putera dan menantuku yang mempunyai tanggungan al-Quran,
apabila kalian belum lancar benar, maka jangan sampai merangkap
apapun, baik berdagang ataupun lainnya.”
- “Orang hafal Al-Quran berkewajiban memeliharanya, maka dari itu
jangan melakukan hal-hal -termasuk menuntut ilmu- yang tidak fardhu,
sekiranya dapat menyebabkan hafalannya hilang.”
- “Kalau kamu tidak mengaji Qiro’ah Sab’ah kepadaku, maka mengajilah kepada Arwani Amin Kudus.”
10. “Buah Al-Quran adalah kebahagiaan dunia dan akhirat.”
11. Beliau berkata kepada K.H. Basyir; “Marilah uzlah seperti saya,
guna mengajarkan al-Quran. Kalau kita memikirkan harta dunia, maka
akan binasalah Al-Quran nanti.”
12. Beliau berkata kepada putri beliau, Nyai Hindun; “Orang hafal
Al-Quran, mengamalkan isi kitab Majmu’ dan Mudzakarot, insyaAllah
menjadi orang shalihah.”
13. Beliau tidak mengijinkan santri-santrinya menjadi Pegawai Negeri Pemerintah Penjajah pada waktu itu.
14. Beliau menyampaikan apa yang pernah diterima dari guru beliau,
K.H. Cholil Bangkalan; “Apabila hidayah tiba, permusuhan pun musnah.
Jadilah engkau bagaikan Air, dibutuhkan oleh siapa dan apa saja. Jika
tidak begitu, maka jadilah seperti Batu, tidak ada bahaya maupun
manfaat (secara aktif –red). Janganlah engkau laksana Kalajengking,
siapa melihat maka ia pun takut.”
15. “Seyogyanya engkau hadiahkan berkah Surah al-Fatihah kepada
segenap kaum Muslimin yang masih hidup, lebih-lebih diwaktu tertimpa
marabahaya atau berperangai buruk, barangkali dapat menjadi obatnya.
Sebagaimana guru saya K.H. Cholil pernah mengajarkan; (di nomor 16)
16. Beliau menyampaikan apa yang disampaikan guru beliau, K.H.
Cholil; “Teman-teman sekalian, jikalau engkau menghadiahkan berkah
surat al-Fatihah jangan hanya kepada Muslimin yang sudah meninggal
saja, tetapi juga yang masih hidup. Syukurlah jika kepadaku juga.
Sebab Nabi Muhammad saw. pernah bersabda; ‘UDDA NAFSAKA MIN AHLIL
QUBUUR (anggaplah dirimu termasuk ahli Qubur).”
17. “Apabila engkau memohon kepada Allah, maka mohonlah Kesejahteraan (‘Aafiyah).”
18. “Kelak di akhir jaman, Shin akan menguasai seluruh daerah.”
19. Sebuah sya’ir; “Aku tak bisa mendapatkan kembali apa yang telah
meninggalkan diriku, baik dengan LAHFA (kalau), dengan LAYTA
(seandainya), ataupun dengan LAW-INNI (andaikan saya).”
20. “Selama saya masih hidup, puteraku yang lelaki selalu saya suruh
memakai kopyah. Sedangkan yang perempuan segera saya carikan jodoh,
tak usah menunggu orang lain yang datang melamarnya.”
G. WAFAT DAN PENERUS BELIAU
Sebagaimana manusia pada umumnya, K.H.M. Moenauwir menderita sakit
selama 16 hari. Pada mulanya terasa ringan, namun lama-kelamaan
semakin parah. Tiga hari terakhir saat beliau sakit, beliau tidak
tidur.
Selama sakit, selalu berkumandanglah bacaan Surah Yasin 41 kali yang
dilantunkan oleh rombongan-rombongan secara bergantian. Satu rombongan
selesai membaca, maka rombongan lain menyusulnya, demikian tak ada
putusnya.
Akhirnya, beliau, K.H.M. Moenauwir wafat Ba’da Jum’at tanggal 11
Jumadil Akhir tahun 1942 M. di kediaman beliau di komplek Pondok
Pesantren Krapyak Yogyakarta. Di kala beliau menghembuskan nafas
terakhir, ditunggui oleh seorang putri beliau, Nyai Jamalah, yakni
ketika rombongan pembaca Surah Yasin belum hadir.
Sholat Jenazah dilaksanakan bergiliran lantaran banyaknya orang yang
bertakziyyah. Imam shalat jenazah kala itu adalah K.H. Manshur
(Popongan – Solo), K.H.R. Asnawi (Bendan – Kudus), dan besan beliau
K.H. Ma’shum (Suditan - Lasem).
Beliau tidak dimakamkan di kompleks Pesantren Krapyak, melainkan di
Pemakaman Dongkelan, yakni sekitar 2 km dari kompleks Pesantren. Dan
sepanjang jalan itulah, terlihat Kaum Muslimin dari berbagai golongan
penuh sesak mengiring dan bermaksud mengangkat jenazah beliau,
sampai-sampai keranda jenazah beliau cukup ‘dioperkan’ dari tangan ke
tangan yang lain, sampai di Pemakaman Dongkelan.
Jenazah K.H.M. Moenauwir dikebumikan di sana, dan selama lebih dari
seminggu pusara beliau selalu penuh dengan penziarah dari berbagai
daerah untuk membaca Al-Quran.
Beliau wafat meninggalkan Pesantren yang merupakan tonggak pemisah
suasana. Suasana sebelum dibangun pesantren, Krapyak dikenal sebagai
tempat rawan, penuh kegelapan, abangan dan sedikit yang menjalankan
ajaran Islam. Bersamaan dengan didirikannya Pesantren, banyak pula
usaha busuk dari golongan-golongan Klenik yang dengki dan selalu
merintangi perintisan Pesantren.
Namun upaya-upaya itu musnah, dan suasana gelap beralih menjadi ramai
dan meriah dengan alunan Ayat-ayat Suci Al-Quran dengan segala
konsekuensinya.
Almarhum K.H.M. Moenauwir berwasiyat, agar keluarga melanjutkan
perjuangan Pesantren, tepatnya kepada 2 orang putra dan 4 orang
menantu. Akan tetapi karena beberapa udzur, perjuangan Pesantren
dikawal secara langsung oleh 3 tokoh yang dikenal sebagai Tiga
Serangkai;
(1)
K.H.R. Abdullah Affandi (putra beliau dari Nyai R.A. Mursyidah asal
Kraton Yogyakarta). Di samping menangani pengajian Al-Quran, beliau
juga mengurusi hubungan Pesantren dengan dunia luar. Beliau wafat pada
1 Januari 1968.
(2)
K.H.R. Abdul Qodir (putra beliau dari Nyai R.A. Mursyidah asal Kraton
Yogyakarta). Pada tahun 1953, para santri penghafal al-Quran
dikelompokkan menjadi satu dalam sebuah wadah, yakni Madrasatul Huffadz
yang disponsori oleh K.H.R. Abdul Qodir, dibantu K.H. Mufid Mas’ud
(menantu K.H.M. Moenauwir), Kyai Nawawi (menantu K.H.M. Moenauwir) dan
Hasyim Yusuf dari Nganjuk. Ada 2 sistem yang ditempuh di Madrasatul
Huffadz;
Pertama, adalah Sistem Perseorangan, yakni Kyai menurut kepada santri untuk menghafalkan suatu ayat, surat maupun juz.
Kedua, adalah Sistem Jama’ah Mudarosah, yakni seorang santri disuruh
menghafal suatu ayat, surat atau juz, kemudian membacanya lantas
berhenti dan dilanjutkan oleh santri yang lain, demikian sampai khatam
30 juz.
Untuk mentash-hih kembali hafalan santri-santri yang sudah khatam,
maka diharuskan melakukan ‘Ardloh secara Musyafahah sampai tiga kali
khatam. Untuk menguji kelancaran hafalan, adalah dengan dibacanya
suatu ayat oleh Kyai dan santri disuruh melanjutkannya. Begitu pula
ditanyakan kepada santri tentang letak ayat tersebut dalam surat apa,
halaman berapa, bagian mana, lembar kiri atau kanan, ayat nomor
berapa, sampai surat baru masih berapa ayat lagi.
Seperti itulah seluk beluk menghafalkan Al-Quran di Madrasatul Huffadz
saat itu. Setelah hafal seluruh Al-Quran, maka selama 41 hari
dilanjutkan Mudarosah (nderes) dengan mengkhatamkan 41 kali juga.
K.H.R. Abdul Qodir wafat pada 2 Februari 1961
(3)
K.H. ‘Ali Ma’shum (menantu beliau asal Lasem, suami dari Nyai Hj.
Hasyimah). Beliau sudah turut mengasuh Pesantren sejak 1943, beliau
adalah perintis dan pengasuh pengajian Kitab-kitab selepas K.H.M.
Moenauwir wafat, yakni sejak kepulangan beliau dari Tanah Suci dalam
rangka menimba ilmu. Dalam penyelenggarannya, beliau menerapkan
beberapa sistem, yakni Sistem Madrasi (Klasik) dan Sistem Kuliyah, yang
masing-masing dilengkapi dengan Pengajian Sorogan (individual).
Adapun Pengajian Sorogan ini, beliau berlakukan dengan model
Semi-Otodidak, yakni dengan ditentukannya suatu kitab oleh K.H. ‘Ali
Ma’shum untuk dikaji seorang santri. Tiap sore hari, santri tersebut
harus menghadap beliau untuk membaca kitab. Dalam hal ini, santri
harus berusaha mempelajarinya sendiri, baik dalam cara membaca maupun
menela’ah maknanya, baik dengan bertanya maupun berdiskusi dengan
rekan dan kitab yang sudah ada maknanya.
Sedangkan K.H. ‘Ali Ma’shum cukup menyimak bacaan santri sambil
mengajukan beberapa pertanyaan, dan membenarkan jika ada kesalahan
membaca maupun memahami isinya. Dengan sistem ini, beliau maupun
santri telah banyak menghemat waktu serta membuahkan hasil yang
memuaskan lagi cermat.
K.H. ‘Ali Ma’shum wafat pada 1989.
Demikianlah estafet kepemimpinan Pesantren terus bergulir, semakin
berkembang seiring bertambahnya usia, baik dalam metode maupun corak
Pesantren, namun tak lepas dari sentuhan khas salafiyahnya.
Dan tentunya, tetap berkonsentrasi pada misi awal yang dirintis Sang
Muassis (Pendiri), yakni membumikan Al-Quran, memasyarakatkan Al-Quran
dan meng-al-Quran-kan masyarakat.