Gamelan Sekaten
Berbondong-bondong orang memenuhi halaman Masjid Agung Surakarta. Hujan gerimis yang turun sejak pagi, tak menyurutkan semangat mereka. Sebagian besar datang dari luar kota, dari eks-karesidenan Surakarta, seperti Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Boyolali, dan juga dari daerah-daerah lainnya.Air hujan membuat halaman masjid sedikit berair. Para pedagang menutupi dagangannya dengan lembaran plastik lebar. Para pengunjung yang tidak membawa payung atau memakai mantel, berteduh di serambi masjid, pendapa, dan emperan bangunan lainnya. Semuanya menanti acara sakral yang berlangsung setiap tahun sekali disini. Hari ini adalah hari dimana gamelan Sekaten akan dibunyikan pertama kali, menandai awal tujuh hari perayaan Sekaten tahun 2012 M atau 1433 H atau 1945 Saka.
Bersiap-siap. Para penjual dan pengunjung sudah datang jauh lebih awal sebelum acara Ungeling Gangsa dimulai. Penjual yang lebih dulu datang, dapat tempat di teras pendapa Pradangga, dan tidak terkena hujan.
Pada saat gamelan Kyai Guntur Madu pertama kali ditabuh, pengunjung Sekaten menyambutnya dengan suka cita. Di serambi masjid, mereka secara bersama-sama mengunyah kinang. Dipercaya bahwa mengunyah ramuan dari campuran tembakau kering, daun sirih, gambir, jambe, injet (kapur sirih) dan kembang kanthil ini akan membawa berkah dan membuat awet muda. Pengunjung yang ada di sekitar bangsal Pradangga selatan, akan berebut janur yang menjadi penghias atap bangsal. Janur – daun muda pohon kelapa – itu juga dipercaya dapat membawa berkah. Di bangsal Pradangga utara, rebutan janur menunggu gendhing Kyai Guntur Madu selesai dan Kyai Guntur Sari ditabuh pertama kali.
Gamelan Sekaten mulai dibunyikan dari tanggal 5 sampai 11 Mulud dan pada tanggal 12-nya diadakan Grebeg Mulud, puncak perayaan Sekaten. Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari akan bergantian dibunyikan dari pagi sampai menjelang Maghrib setiap hari, kecuali pada hari Kamis sampai waktu ‘Ashar, dan hari Jum’at dimulai setelah sholat Jum’at. Tradisi tabuh gamelan inilah tradisi asli Sekaten yang konon sudah ada sejak jaman Wali Songo, pada masa kerajaan Demak.
Berdoa. Sebelum Ungeling Gangsa (upacara tabuh
pertama gamelan Sekaten), sesepuh keraton berdoa di serambi Masjid
Agung, diikuti oleh pembesar keraton lainnya, juga masyarakat umum.
Sengget. Karena letak janur yang cukup tinggi di bawah atap bangsal, maka anak kecil ini pun difungsikan sebagai sengget. Sengget
adalah galah pengait, biasanya terbuat dari bambu, yang digunakan untuk
mengambil buah-buahan di pohon yang tinggi. Rebutan janur pertama di
bangsal Pradangga selatan ini, lebih ramai dari rebutan kedua di bangsal utara.
Puas. Setelah berjuang, berebut, berdesak-desakan, akhirnya ibu ini berhasil mendapatkan janur juga.
Tradisi Sekaten diperkirakan sudah ada sejak jaman kerajaan Islam pertama di Jawa, Kerajaan Demak (1475-1548 M). Sebagai kerajaan baru, Kerajaan Demak ingin menguatkan posisinya dimata masyarakat, juga sebagai sarana penyebaran agama Islam yang belum begitu berkembang, maka para Wali Songo yang juga sebagai penasihat spritual kerjaan Demak, menciptakan tradisi perayaan Sekaten.Gamelan Sekaten mulai dibunyikan dari tanggal 5 Mulud (Rabiul Awal) sampai tanggal 11 Mulud dan pada tanggal 12-nya diadakan Grebeg Mulud, puncak perayaan Sekaten. Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari akan bergantian dibunyikan dari pagi sampai menjelang Maghrib setiap hari, kecuali pada hari Kamis sampai waktu ‘Ashar, dan pada hari Jum’at dimulai setelah sholat Jum’at. Tradisi tabuh gamelan inilah tradisi asli Sekaten yang konon sudah ada sejak jaman Wali Songo, pada masa kerajaan Demak.
Berbagi. Beberapa pengunjung yang berpostur tinggi bersiap-siap memegang ujung janur. Tepat saat gamelan Kiai Guntur Sari di bangsal Pradangga
utara berbunyi, mereka ramai-ramai menariknya. Walaupun sebenarnya ada
yang dengan mudah bisa mendapatkan semuanya, tapi mereka yang mendapat
lebih selalu mau membagi-bagikan janur itu kepada yang lain.
Seperti Takdir.
Meskipun didapat dengan berdesakan dan berebut, hebatnya mereka
melakukan ini dengan suka ria. Tidak dengan amarah apalagi sampai
terjadi kekerasan. Jika bisa mendapatkannya mereka bergembira, jika
tidak, ya pasrah saja. Seperti suratan takdir.
Perayaan Sekaten adalah perayaan menyambut kelahiran Nabi Muhammad s.aw, pembawa agama Islam. Perayaan ini dilakukan dengan menabuh gamelan selama seminggu – mengikuti jumlah hari perayaan dalam tradisi Hindu-Majapahit – sebelum peringatan hari kelahiran Nabi. Gamelan yang ditabuh berjumlah sepasang dan dimainkan bergantian, sehingga suara gamelan akan terus terdengar dan memancing orang-orang untuk mendekat dan datang ke arah suara, yaitu ke Masjid Demak.
Orkestra.
Gamelan Jawa adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon,
gambang, gendang, dan gong. Musik yang tercipta pada Gamelan Jawa
berasal dari paduan bunyi gong, kenong, dan alat musik Jawa lainnya.
Irama musik umumnya lembut dan mencerminkan keselarasan hidup,
sebagaimana prinsip hidup yang dianut pada umumnya oleh masyarakat Jawa.
Gong. Gong dianggap sebagai rancak utama gamelan, kerena digunakan sebagai penanda pembagian irama gending, yaitu pada awal (gong ageng, gong yang berukuran besar), bagian akhir (gong suwukan/ siyem, gong yang berukuran sedang), dan paling akhir (gong ageng).
Sebagai suara pembuka dan penutup. Ukurannya pun juga paling besar dan
berat. Jika tidak banyak polusi suara, suaranya yang menggema dan khas
dapat terdengar sampai beberapa ratus meter.
Bedug. Tidak seperti umumnya rancak (seperangkat) gemelan biasa, rancak
gamelan Sekaten juga dilengkapi bedug. Walaupun berasal dari China,
bedug banyak dipakai di masjid-masjid sebagai penanda waktu sholat
(sebelum adzan) atau kegiatan masjid lainnya.
Gamelan yang digunakan berasal dari perangkat gamelan Kiai Sekar Delima, peninggalan Majapahit yang dibawa oleh raja pertama Demak, Raden Patah. Raden Patah adalah anak raja Majapahit tekahir, Brawijaya V dari selirnya yang berasal dari China, Siu Ban Ci. Oleh Sunan Kalijogo dan Sunan Bonang , gamelan ini dirubah dan dibuat menjadi dua perangkat gamelan berlaras pelog yaitu Kiai dan Nyai Sekati. Sekati adalah satuan berat timbangan tradisional yang kira-kira setara dengan 6,25 ons. Timbangan berarti seimbang.Pada jaman dahulu, gamelan hanya dimainkan pada acara khusus seperti ulang tahun raja, kenaikan tahta, penyambutan tamu agung, pernikahan putra-putri raja, dan acara-acara sakral lainya yang biasanya hanya diadakan di lingkungan keraton (ka-ratu-an, tempat tinggal ratu). Keadaan lingkungan yang belum banyak terkena polusi suara seperti sekarang ini, juga membuat suara gamelan, terutama gong, dapat terdengar sampai jauh. Gamelan Sekaten menarik banyak orang untuk berdatangan. Dan ketika mereka berdatangan, mereka akan akan tahu mengapa gamelan itu dibunyikan, mengenal para wali, mengenal Nabi Muhammad, dan mengenal Islam.
Mohon Restu. Dianggap sebagai peninggalan langsung dari para wali dan para raja, rancak gamelan ini – terutama gong – dianggap mempunyai tuah yang bisa mendatangkan berkah. Ibu ini menempelkan mukanya dan sungkem pada gong gamelan Kiai Guntur Sari, memohon restu dan barokah atas doa yang dipanjatkan, berharap keinginannya terlaksana.
Gamelan Kiai Sekar Delima konon dibuat oleh Raden Panji Inu Kerta Pati dan Panji Semirang (Dewi Candra Kirana) dari kerajaan Jenggala (1042-1130) dan kemudian diwariskan turun temurun kepada raja-raja Majapahit. Perangkat gamelan ini terdiri dari Bonang sapangkon (sepasang), Demung dua pangkon, Kempyang sepangkon, Saron Barung dua pangkon, Saron Penerus dua pangkon, dan sebuah Gong Gedhe.
Oleh Sunan Kalijogo (Raden Said, 1450-?) dan Sunan Bonang (Raden Maulana Makdum Ibrahim, 1465-1525), gamelan ini dirubah dan dibuat menjadi dua perangkat gamelan berlaras pelog (tujuh nada) yaitu Kiai Sekati dan Nyai Sekati. Sekati adalah satuan berat timbangan tradisional yang kira-kira setara dengan 6,25 ons. Timbangan berarti seimbang. Manusia harus selalu menjaga keseimbangan hidupnya, antara kehidupan dunia dan akherat. Juga sebagai pengingat bahwa manusia agar selalu mengukur segala sesuatunya, tindakan, perilaku, dan ucapannya, karena nantinya semua amal perbuatannya akan ditimbang dan dipertanggung-jawabkan di hadapan Tuhan.
Persiapan Khusus.
Penabuhan gamelan Sekaten harus dengan persiapan khusus, tidak hanya
bagi para penabuhnya yang harus berpuasa atau melakukan pantangan
tertentu, tapi juga bagi gamelannya sendiri. Dalam setiap pementasannya,
gamelan harus disertai beberapa sesajen kembang, kemenyan, dan
sebagainya.
Setia.
Penonton atau lebih tepatnya pendengar alunan gamelan Sekaten cukup
setia mendengar gendhing sampai akhir. Jika satu gamelan telah
menyelesaikan gendhingnya, mereka akan berpindah ke gamelan di bangsal satunya untuk kembali mendengarkan kembali alunan gendhing gamelan.
Sedang gendhing (komposisi musik) utama yang dimainkan selama Sekaten adalah adalah Rambu, yang dimainkan oleh gamelan Kyai Guntur Madu dan Rangkung, oleh gamelan Kyai Guntur Sari. Kata Rambu berasal dari kata Arab Rabbuuna yang artinya (Allah) Tuhan kami sedangkan Rangkung berasal dari kata Arab Raukhuun, yang artinya jiwa yang agung.Dua pasang gamelan juga diartikan sebagai dua kalimat syahadat atau syahadatain. Syahadat adalah kredo pernyataan masuknya seseorang ke agama Islam. Pada waktu gamelan tidak dibunyikan, para wali mengisinya dengan petuah-petuah hidup dan ceramah keagamaan, dan mengajak pengunjung yang datang untuk mengucapkan syahadatain, sebagai tanda masuk Islam.
Sedang gendhing (komposisi musik) utama yang dimainkan selama Sekaten adalah adalah Rambu, yang dimainkan oleh gamelan Kyai Guntur Madu dan Rangkung, oleh gamelan Kyai Guntur Sari. Kata Rambu berasal dari kata Arab Rabbuuna yang artinya (Allah) Tuhan kami sedangkan Rangkung berasal dari kata Arab Raukhuun, yang artinya jiwa yang agung.
Perjalan sejarah, intrik para raja, dan kerajaan yang berpindah-pindah, sampai saat ini tidak begitu jelas dimana gamelan asli peninggalan Majapahit dan Demak itu. Gamelan Sekaten diklaim oleh tiga kerajaan, Kasepuhan Cirebon, Kasunanan Surakarta, dan Kasultanan Yogyakarta.
Kinang. Terbuat dari lima bahan,
tembakau, daun sirih, gambir, jambe, dan injet, dianggap sebagai simbol
lima rukun Islam. Rasanya yang pahit, sepet, getir, getas, dan asin
juga mencerminkan kehidupan yang dialami manusia.
Cabuk Rambak.
Penjual cabuk rambak dengan ramah melayani pembeli. Cabuk rambak adalah
makanan dari irisan tipis ketupat, dengan siraman saus wijen yang
dicampur kemiri dan kelapa parut yang dibumbui daun jeruk dan cabe, dan
ditambah karak (kerupuk dari nasi kering) yang berukuran kecil-kecil.
Endhog Kamal.
Dibuat dengan peraman garam yang dicampur lumpur, abu gosok, atau bubuk
batu bata selama beberapa minggu, membuat telur ini terasa gurih dan
dapat bertahan lama. Di Solo telur asin ini disebut endhog kamal, atau
telur amal.
Gamelan Kyai Guntur Sari menjadi milik Kraton Kasunanan Surakarta dan Kyai Guntur Madu menjadi milik Kasultanan Yogyakarta. Agar dapat dipakai untuk perayaan Sekaten, dua pecahan Mataram ini membuat kembali pasangan masing-masing gamelan. Kyai Guntur Sari di Surakarta mutrani (memiliki putra) gamelan bernama Kiai Guntur Madu, sedangkan Kiai Guntur Madu di Jogja mutrani gamelan bernama Kiai Nogo Wilogo.Gamelan yang dipakai pada perayaan Sekaten di Solo dan Jogja diperkirakan dibuat oleh atau pada jaman Sultan Agung (Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, 1593-1646), raja Mataram Islam ke-3. Sepasang gamelan itu bernama Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari.
Pecut. Pecut
(cemeti) yang dijual di Sekaten ini agak berbeda dengan pecut yang
biasa digunakan peternak atau penunggang kuda, kerbau atau hewan
lainnya. Ada banyak hiasan, dan kelihatannya memang dikhususkan hanya
untuk dijual saat Sekaten. Pecut sebagai simbol semangat hidup yang
harus selalu dipacu, dilecut.
Jenang Dodol.
Perlu waktu seharian untuk membuat makanan berbahan dasar ketan atau
tepung beras, santan kelapa, dan gula merah ini. Meskipun menjadi
makanan khas Sekaten – tidak seperti makanan kasa lainnya – jenang dodol
dijual di luar halaman Masjid Agung.
Pasar Malam. Pada waktu malam, saat gamelan sudah tidak lagi ditabuh, Sekaten malah mengalami puncak keramaiannya. Pasar Malam yang digelar di alun-alun menjadi rekreasi hiburan untuk semua orang.
Selain
banyaknya wahana permainan, pengunjung juga bisa membeli bermacam
barang di Pasar Malam Sekaten Yogyakarta. Yang paling banyak adalah
mainan anak-anak.
Dari panjangnya sejarah Sekaten, memunculkan pendapat yang berbeda tentang istilah Sekaten itu sendiri. Ada yang menyebut istilah Sekaten berasal dari nama gamelan yang pertama kali digunakan, gamelan Kiai Sekati. Ada juga yang berpendapat Sekaten berasal dari kata suka ati, hati yang bersuka ria menyambut perayaan kelahiran Nabi. Pendapat yang paling umum adalah Sekaten berasal dari kata syahadatain, pernyataan ke-Islaman seseorang, tujuan awal diadakannya perayaan ini.
Dari panjangnya sejarah Sekaten, memunculkan pendapat yang berbeda tentang istilah Sekaten itu sendiri. Ada yang menyebut istilah Sekaten berasal dari nama gamelan yang pertama kali digunakan, gamelan Kiai Sekati. Ada juga yang berpendapat Sekaten berasal dari kata suka ati, hati yang bersuka ria menyambut perayaan kelahiran Nabi. Pendapat yang paling umum adalah Sekaten berasal dari kata syahadatain, pernyataan ke-Islaman seseorang, tujuan awal diadakannya perayaan ini.
Mainan Sekaten. Tiga mainan khas Sekaten, gangsingan bambu, kodok-kodokan
gerabah, dan kapal-kapalan seng. Semuanya mempunyai arti sendiri. Pada
awalnya gangsingan berputar kesana kemari, kemudian stabil di tengah,
lalu terjatuh dan berhenti, seperti kehidupan manusia, hidup berusaha,
mencapai ketenangan, lalu mati. Kodok atau katak adalah hewan yang biasa
ada di pesawahan, cerminan kehidupan agragris masyarakat Jawa. Sedang
kapal seperti perjalanan kehidupan manusia yang harus ditempuh.
Berlayar.
Meskipun banyak juga dijual mainan modern lain yang memakai baterai,
dua anak kecil ini terlihat bersemangat membayangkan bagaimana
kapal-kapalan seng ini nanti akan berlayar. Tentu saja setelah orang tua
mereka jadi membelikannya.
Karena banyaknya orang yang datang menyaksikan gamelan Sekaten, para wali mengijinkan penduduk untuk berjualan sekedar makanan dan minuman, serta beberapa barang lainnya. Makanan dan minuman yang dijual antara lain sego liwet (nasi uduk), cabuk rambak (makanan dari kupat sambal kacang putih dan karak, kerupuk nasi), jenang dodol, dan wedhang ronde. Sedang barang-barang lainnya adalah kinang (campuran dari tembakau kering, daun sirih, gambir, jambe, injet dan kembang kanthil), pecut (cemeti), gangsingan bambu, mainan kodok-kodokan, kapal-kapalan seng, dan peralatan dari tembikar. Sampai saat ini, makanan, minuman, dan barang-barang ini masih dijual disetiap perayaan Sekaten. Keramaian Sekaten pun menjelma menjadi seperti pasar tiban. Dan dari waktu ke waktu, pasar tiban itu semakin ramai dan ramai.
Menunggu. Kebanyakan
pengunjung Sekaten datang berombongan, dengan menggunakan mobil atau
bus. Mereka yang berpayung ini dengan setia menunggu anggota
rombongannya yang lain yang sedang sholat di Masjid Agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar