Keraton Kasultanan Yogyakarta dikelilingi oleh sebuah benteng yang didirikan sebagai sarana pertahanan serta untuk mengantisipasi serangan musuh dari luar wilayah Keraton. Benteng ini dinamai Benteng Baluwerti, yang berarti jatuhnya peluru laksana hujan.
Benteng Baluwerti dibangun atas prakarsa Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Sultan Hamengku Buwono I, sebagai reaksi atas berdirinya benteng Kompeni di sebelah utara Keraton. Benteng Kompeni yang dibangun antara tahun 1765 hingga 1787 itu, kini dikenal dengan nama Benteng Vredeburg. Pembangunan Benteng Baluwerti sendiri ditandai dengan ornamen simbolik berupa suryasengkala yang berbunyi Paningaling Kawicakranan Salingga Bathara yang bermakna tahun 1785 Masehi. Untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan Daendels, Pada bulan November 1809, Pangeran Adipati Anom yang telah naik tahta menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono II, semakin menyempurnakan bangunan ini.
Benteng Baluwerti berbentuk empat persegi mengelilingi kompleks Keraton seluas lebih kurang 1 kilometer persegi. Tembok benteng setinggi 3,5 meter dan lebar antara 3-4 meter yang membentuk anjungan. Tebalnya tembok benteng memungkinkan orang atau kereta kuda melintas diatasnya. Sisa anjungan pada tembok Benteng Baluwerti masih bisa disaksikan pada sisi selatan sebelah timur.
Benteng Baluwerti memiliki 5 buah pintu gerbang yang disebut plengkung. Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan berada di sisi utara sebelah timur, sekaligus menjadi pintu gerbang istana putra mahkota atau Kadipaten. Plengkung ini bentuknya masih utuh.
Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem berada di sisi utara sebelah barat. Plengkung ini pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII telah mengalami perubahan bentuk menjadi gerbang bentar.
Di sebelah barat dahulu berdiri Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari. Saat ini, Plengkung Jagabaya ini juga sudah berubah bentuk menjadi gapura.
Di sisi sebelah timur, dahulu berdiri Plengkung Madyasura yang disebut pula Plengkung Tambakbaya atau Plengkung Gondomanan, yang sudah rata dengan tanah. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Plengkung Buntet, karena pernah ditutup menjelang serangan balatentara Inggris pada tahun 1812.
Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gadhing yang terdapat di sisi selatan masih berdiri utuh. Fungsi khusus gerbang ini adalah sebagai jalan untuk menghantar Sultan yang wafat menuju makam para raja di Imogiri. Pada sisi kiri dan kanan pintu terdapat ragam hias kepala raksasa yang disebut Kala atau Kemamang sebagai simbol pelepasan mangkatnya sang raja.
Pada setiap sudut Benteng Baluwerti terdapat bangunan bastion yang berfungsi sebagai tempat mengintai musuh. Di setiap bastion terdapat lubang pengintaian dan relung-relung yang berfungsi untuk menempatkan meriam atau senjata lainnya.
Sebelum terjadinya gempa bumi pada bulan Mei tahun 2006, 3 dari 4 bastion ini masih berdiri utuh, yaitu yang berada di sebelah tenggara, barat daya dan barat laut. Setelah terjadinya musibah gempa bumi, bastion-bastion ini sempat mengalami kerusakan yang cukup parah. Satu lagi bastion di sebelah timur laut telah lama runtuh dan saat ini hampir tidak lagi tersisa bekasnya. Sebuah prasasti yang ada di bekas bastion itu, menunjukkan sebab kerusakannya akibat serangan balatentara Inggris pada tahun 1812. Peristiwa yang terjadi pada masa Sultan Hamengku Buwono II tersebut dikenal sebagai Geger Sepoy atau Geger Spei.
Hingga sekitar abad ke-18, Benteng Baluwerti dikelilingi oleh selokan yang lebar dan dalam yang disebut jagang dengan jembatan gantung di depan setiap plengkungnya. Sepanjang tepian jagang ditanam deretan Pohon Gayam. Jika datang ancaman bahaya, jembatan-jembatan ini dapat ditarik ke atas hingga menutup jalan masuk menuju bagian dalam benteng. Pada jamannya, plengkung-plengkung ditutup pada jam 8 malam dan dibuka kembali pada jam 5 pagi diiringi genderang dan terompet para prajurit di halaman Kemagangan.
Kawasan di dalam lingkungan benteng, biasa disebut Jeron Beteng, merupakan situs pusaka budaya utama di Kota Yogyakarta. Selain Keraton sebagai situs terpenting, di kawasan ini juga berdiri sisa bangunan Pesanggrahan Tamansari, sebuah bangunan indah dengan konsep istana diatas air. Disini juga terdapat pola tata ruang yang khas, bangunan-bangunan bersejarah, serta pola tata nama yang masih lestari sejak pertama kali adanya dua setengah abad yang lalu. Meski tidak semuanya utuh sebagaimana adanya semula, kawasan Jeron Benteng menjadi ciri paling spesifik keberadaan Kota Yogyakarta, sebagai salah satu bekas kota kerajaan yang paling utuh dan lestari di Indonesia. Inilah monumen terpenting usia dua setengah abad Kota Yogyakarta, sejak didirikan oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1756 Masehi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar