Sabtu, 14 Mei 2016

SEJARAH KAMPUNG KRAPYAK, DESA PANGGUNGHARJO, KECAMATAN SEWON, KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARYA


SAUJANA SEJARAH KAMPUNG KRAPYAK
DESA PANGGUNGHARJO, KECAMATAN SEWON, KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARYA

Kampung Krapyak yang berada di wilayah Desa Panggungharjo Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, secara administratif dibagi menjadi 2 pedukuhan yaitu Pedukuhan Krapyak Wetan dan Pedukuhan Krapyak Kulon. Ketika kita mendengar Kampung Krapyak ini, yang terlintas dimemori kita pastilah Panggung Krapyak atau Kandang Menjangan, sebuah bangunan tua yang berdiri di perempatan jalan berbentuk segi empat, didirikan oleh Sultan Hamengkubuwono I atau Pangeran Mangkubumi, yang merupakan salah satu elemen dari Sumbu Filosofi Kraton Yogyakarta.
Namun apabila kita pelajari lebih jauh, sebenarnya keberadaan penamaan daerah Krapyak memiliki sejarah yang panjang, yakni 160 tahun sebelum adanya Panggung Krapyak atau Kandang Menjangan itu didirikan. Pada tahun 1611-1613 oleh Panembahan Hanyokrowati atau yang lebih dikenal sebagai Pangeran Sedo Krapyak telah didirikan sebuah wilayah hutan rekreasi raja yang berpagar keliling bambu, atau dinamakan krapyak, atau pada waktu itu dikenal dengan nama Krapyak Beringan. Sedangkan pembangunan Panggung Krapyak atau Kandang Menjangan oleh Sultan Hamengkubuwono I atau Pangeran Mangkubumi dilaksanakan pada tahun 1755, fungsi utamanya sudah agak berbeda, kalau pada masa Panembahan Hanyokrowati dipergunakan sebagai wilayah hutan rekreasi raja dengan berburu menjangan/kijang, tetapi pada masa Sultan Hamengkubuwono I atau Pangeran Mangkubumi dipergunakan sebagai tempat olahraga panahan dengan sasaran kijang/menjangan yang telah ditangkarkan di wilayah hutan buatan di sebelah selatan Panggung Krapyak, yang sekarang dikenal sebagai Kampung Janganan. Fungsi lain dari Panggung Krapyak adalah sebagai daerah pertahanan paling luar dari Kraton Yogyakarta, yaitu berfungsi sebagai menara pengawas. Apabila ada musuh atau peristiwa yang mencurigakan dari sisi selatan, maka dapat segera diketahuidari atas Panggung Krapyak dalam jarak pandang 2-3 kilometer, dengan demikian maka prajurit jaga dengan mengendarai kuda bisa segera menyampaikan laporan ke pengawas di Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gading untuk disampaikan ke prajurit kawal keraton, atau jika keadaan mendesak karena jarak musuh sudah dekat, maka prajurit jaga bisa menyampaikan kode dengan panah api/panah sendaren atau kode lainnya, yang mana nyala apinya atau kode tersebut dapat dilihat dari Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gading sebagai tanda bahaya.
Bagaimanakah prosesi perburuan itu dilakukan ?
Pada masa Panembahan Hanyokrowati (1611), kondisi geografisnya masih berupa hutan belukar, meskipun bukan hutan yang sangat lebat. Raja dan pengawalnya dengan mengendarai kuda memasuki semak belukar tersebut untuk memburu kijang yang berkeliaran. Setelah sampai di tempat tertentu, para pengawal turun dari kuda,  kemudian berusaha menggiring kijang/binatang buruan ke tempat tertentu dengan suara-suara supaya mudah untuk dibidik, yaitu berupa sebilah bambu jenis “apus” yang dibelah tengahnya tetapi tidak sampai pisah pada bagian ruas batangnya, dengan menggerakkan ke depan-belakang maka akan menimbulkan suara berisik prak-prak-prak, peralatan ini sering dinamakan “keprak” , dan prajurit yang menggiring dinamakan “ngrapyak”, pada masa sekarang peralatan ini biasa dipergunakan oleh petani untuk menghalau burung di sawah. Jadi menurut penuturan warga sekitar kata “krapyak” berasal dari kata “ngrapyak” yang berarti menggiring binatang buruan dengan suara-suara yang terbuat dari bambu.
Sedangkan pada masa Sultan Hamengkubuwono I atau Pangeran Mangkubumi (1755), sebagian daerah tersebut sudah ada yang mendiami, bahkan sebagian sudah terdapat sawah atau ladang/tegalan, maka dibuatlah semacam hutan buatan disekitar Panggung Krapyak dan tempat penangkaran kijang atau menjangan untuk mengembang biakkan menjangan tersebut, yang terbuat dari dari pagar keliling bambu anyaman yang dinamakan “krapyak”. Jadi kata “krapyak” berarti kandang binatang dari pagar bambu. Sebagaimana diketahui, bahwa pada tahun 1676  ( yakni 65 tahun pasca meninggalnya Pangeran Sedo Krapyak) oleh Sunan Amangkurat I yang bertahta di Pleret telah dibangun benteng keliling untuk Pesanggrahan Garjitowati,yang berarti “osiking raos ingkang sejatos” (kata hati yang murni), untuk memindahkan Pesanggrahan Ngeksigondo dan menjadi tempat peristirahatan para bangsawan Mataram, namun pembangunan ini terhenti karena adanya Pemberontakan Trunojoyo.Kemudian pada tahun 1719 Sunan Pakubuwono I yang bertahta di Kartasura berniat melanjutkan pembangunan Pesanggrahan Garjitowati tersebut namun keburu wafat, dan digantikan oleh Amangkurat IV. Pada tahun 1745 Sunan Pakubuwono II memindahkan keraton Kartasura ke Surakarta atau Sala, sementara itu di Hutan Paberingan telah dibangun menjadi Kadipaten Mataram di bawah Tumenggung Jayawinata. Bila sebelumnya dipergunakan sebagai tempat peristirahatan, di masa Susuhunan Paku Buwono II telah berubah menjadi tempat pemberhetian layon-layon  (jenazah) para bangsawan Mataram, sebelum kemudian dimakamkan di Imogiri. Pada tahun 1746, dalam pertempuran dengan Surakarta-VOC, Pangeran Mangkubumi terdesak sampai ke lereng Gunung Merapi, tetapi senopatinya yaitu Tumenggung Rangga Wirasentika dapat merebut Kadipaten Mataram dari Tumenggung Jayawinata. Dengan demikian jelaslah bahwa pada saat pembangunan Panggung Krapyak tersebut pada tahun 1755 kondisi alamnya sudah berubah, bukan lagi hutan belantara tetapi sudah ada yang mendiaminya dan bahkan sudah ada sawah dan tegalan yang dikelola untuk penghidupannya, dan disekitar Panggung Krapyak hanyalah hutan-hutan kecil yang rindang atau hutan tanaman industri yang sengaja dibudidayakan untuk diambil hasil kayunya.
Tidak ada dokumen yang mengulas dan menunjukkan secara detail bagaimana prosesi olahraga memanah pada masa itu. Namun dari penuturan masyarakat sekitar secara turun-menurun, dapat digambarkan  sebagai berikut : Jika pada masa Panembahan Hanyokrowati, berburu binatang dilakukan pada pagi hari, tetapi pada masa Sultan Hamengkubuwana ini diselenggarakan pada waktu menjelang sore hari (mungkin sekitar jam 14.00  atau 15.00 sampai waktu Maghrib). Raja dan rombongan para bangsawan keraton naik ke atas bangunan Panggung Krapyak lewat tangga di sisi Barat Laut hingga ke lantai dua bangunan ini, menghadap ke arah selatan. Disamping rombongan dari Keraton Yogyakarta kemungkinan diundang pula para bangsawan dari Kerajaan-Kerajaan sahabat, bahkan juga hadir para pejabat dari Pemerintah Kolonial. Kemudian kijang-kijang hasil penangkaran diambil dari “hutan janganan” dari pagar keliling bambu anyaman yang dinamakan “krapyak”, yang berada di sebelah selatannya dan dilepaskan pada jarak tembak anak panah dari atas bangunan, diiringi dengan gamelan yang ditempatkan dilantai bawah bangunan, para pemanah yang terdiri dari para bangsawan segera membidik kijang-kijang tersebut, dan Raja akan memberikan hadiah khusus pada kijang tertentu yang dijadikan “maskot” pada olah raga memanah kijang tersebut. Kijang yang terkena anak panah dibawa ke bawah bangunan itu juga dan dimasak di tempat tersebut oleh para juru masak keraton yang ikut serta dalam rombongan, kemudian di selenggarakan semacam pesta “barbeque” dengan menu utama daging kijang hasil buruan. Diiringi dengan musik gamelan yang terus mengalun dan juga mungkin dengan menghadirkan para penari keraton, maka pesta berburu itu semakin nampak meriah dan tentu saja sangat disukai oleh para bangsawan keraton dan tamu undangan.
Jadi kata “krapyak” menurut masyarakat sekitar ada 2 versi, yaitu yang pertama berasal dari kata “ngrapyak” yang berarti menggiring binatang buruan dengan suara-suara dari peralatan yang  terbuat dari bambu yang dibelah, sedangkan versi yang ke dua “krapyak” adalah berarti tempat penangkaran hewan buruan yang terbuat dari pagar keliling bambu anyaman.
PEMANDIAN UMBUL KRAPYAK DAN LEGENDA KAWASAN SEGARAN
            Selain dari legenda dan folklor tentang prosesi berburu kijang sebagaimana diuraikan tersebut di atas, masih ada satu sisi lain dari Kampung Krapyak ini yang sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat dan membutuhkan riset dan studi yang lebih mendalam, yaitu keberadaan Pemandian Umbul Krapyak dan Kawasan Segaran.
            Lokasi Pemandian Umbul Krapyak terletak di sebelah timur Panggung Krapyak sekitar 400 meter setelah kuburan krapyak, kemudian ada gang masuk keselatan sekitar 100 meter. Kondisinya saat ini sangat memprihatinkan, karena Pemandian Umbul Krapyak yang sebenarnya berukuran cukup besar ini, sekitar 30 x 12 meter, saat ini sudah tidak nampak lagi rata dengan tanah, karena pada waktu terjadi gempa bumi tahun 2006 tempat pemandian ini dipakai untuk pembuangan bongkaran rumah yang hancur akibat gempa. Disebelah timurnya, sekitar tahun 1980an masih terdapat gundukan bangunan yang telah hancur, yang diperkirakan merupakan bangunan rumah yang diperkirakan merupakan sebuah bangunan pesanggrahan yang cukup besar dan juga dikelilingi tembok bata setebal 80 cm yang berjarak sekitar 100 meter dari kompleks Pemandian Umbul Krapyak ini, namun sekitar tahun 1980an juga sudah dihancurkan untuk jalan kampung.
            Didasar kolam Pemandian Umbul Krapyak ini, tepat ditengah kolam terdapat semacam Yoni kecil berukuran 50 x 50 cm dengan tinggi 70 cm  sebagai tempat keluarnya mata air asli dari tanah untuk mengisi kolam Pemandian ini, dan ada  semacam Lingga sebagai penutup berukuran diameter sekitar 10 cm dan panjang 40 cm, yang oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai “gandhik”. Ukiran pada Yoni, menurut cerita adalah berbentuk sulur-sulur dan daunan seperti bentuk ukiran bergaya Majapahit. Apabila dilakukan penggalian di kolam Pemandian Umbul Krapyak ini, mungkin masih dapat diketemukan Yoni dan Lingga ini, sehingga dapat dipelajari lebih lanjut.
Di sebelah utara Pemandian Umbul Krapyak saat ini masih terdapat peninggalan sumur tua, yang dimungkinkan masih satu kawasan dengan kompleks Pemandian Umbul Krapyak tersebut. Sumur Krapyak sudah tidak berfungsi lagi sebagai sumur. Kondisinya sudah demikian rusak. Lantai di seputar dinding sumur telah banyak yang pecah dan tidak berbentuk lagi. Bibir atau dinding sumur juga banyak yang pecah. Tiang sebagai sangkutan roda dan tambang untuk menimba air juga tidak ada. Kedalaman asli dari sumur juga tidak kelihatan lagi karena sumur ini telah ditimbun tanah. Kedalam yang dapat dilihat dari sumur ini hanya berukuran sekitar 80 Cm, pada tahun 1980an masih bisa dilihat kedalaman sumur yang tidak pernah kering ini sekitar 8 meter, airnya bening dan segar, biasa ditimba dengan seutas tampar yang dijulurkan kebawah. Diameter dari sumur ini berukuran 115 Cm. Sedang ketebalan bibir sumur adalah 30 Cm. Dinding sumur terbuat dari susunan batu bata dengan perekat berupa campuran beberapa bahan material seperti pasir, gamping, dan batu bata merah yang telah dihaluskan. Demikian pun plester dari sumur ini juga merupakan campuran pasir, batu bata yang dihaluskan, dan gamping. Pada tahun 1975-1980an, Pemandian Umbul Krapyak ini masih sering dipakai untuk mandi anak-anak dan bahkan orang dewasa juga dan sumur tua tersebut biasa juga bisa diminum airnya yang segar langsung dari timba.
Adapun Kawasan Segaran adalah sebuah legenda tentang sebuah danau air asin yang berada disebelah selatan Pemandian Umbul Krapyak. Letak persisnya sekarang di lapangan Krapyak, yang dibangun pada tahun 1988. Sebelum dipakai untuk lapangan sepak bola, daerah ini adalah kawasan persawahan yang subur dan airnya berlimpah, banyak terdapat ikan, karena airnya yang bening mengalir diantara lapisan tanah berpasir. Legenda Kawasan Segaran ini menyebutkan bahwa danau air asin ini berhubungan dengan laut selatan jawa, karena di danau  ini pernah diketemukan ikan jenis “gereh pethek” , yaitu sejenis ikan laut atau ikan payau yang bentuknya pipih melebar, panjang badanya sekitar 5 cm, ikan yang mempunyai nama latin  “Leiognathus Equulus” ini untuk mengkonsumsinya biasa dikeringkan dan diasinkan, cocok untuk tambahan makan gudangan atau pecel dengan digoreng garing sehingga mirip kerupuk ikan.
Menurut penuturan masyarakat sekitar, kondisi danau air asin dengan luas sekitar 3 hektar ini semakin lama semakin melebar, sehingga dikhawatirkan dapat menenggelamkan daerah krapyak dan sekitarnya, maka oleh pihak Kerajaan Mataram (tidak diperoleh informasi di masa pemerintahan siapa) sumber mata air danau air asin atau yang dikenal dengan segaran ini ditutup dengan “Gong Siyem” yaitu sejenis gong yang berdiameter 1 meter terbuat dari logam paduan baja hitam dan perunggu, setelah terlebih dahulu diselenggarakan upacara “tayuban” atau “nanggap ledhek” .
Bukti keberadaan danau air asin ini, sekarang bisa disaksikan di Umbul Sorowajan yang berada di sebelah selatan kampung Krapyak. Mata air yang tidak pernah kering atau surut meskipun di musim kemarau ini, mengeluarkan buih-buih berwarna kuning kehijauan yang merupakan indikasi adanya gas metan, yakni gas dari lapisan batubara muda yang secara geologis merupakan bukti keberadaan tanah rawa-rawa di masa lampau.
Kajian Berdasarkan Artikel Dan Cuplikan Beberapa Buku.
Panembahan Krapyak / Penembahan Hanyokrowati juga ahli dalam membangun diantaranya ; tahun 1603 dibangun Prabyeksa (kediaman raja), tahun 1605 membangun taman Danalaya, tahun 1606 Astana Kapura Ing Kitha Ageng, tahun 1611 dibangun Krapyak Beringan dan masih banyak bangunan lain. Pada bidang sastra tahun 1612 disusun Babad Demak.
Menurut Serat Kandha yang juga disebut oleh babad-babad kerajaan, bahwa pada tahun 1605 Penembahan Hanyokrowati membangun taman Danalaya yang terletak disebelah barat Keraton Mataram,  yang dimaksud di sini ialah penggalian sebuah kolam di dalam taman indah ‘Danalaya’. Juga Babad Sangkala (tahun 1527 J) bercerita tentang sebuah kolam : “ Segaran Ing Sinarbumi ” . Nama terakhir ini menunjukkan terjadinya pengupasan tanah/penggalian dan pengurukan tanah. Dalam Babad Momana, juga disebutkan adanya pembangunan Lumbung di Gading pada tahun 1610, untuk keperluan menampung hasil panen dan persediaan bahan makanan di Kerajaan Mataram.
Dari sini kita mencoba menyatukan 4 hal dalam satu kurun waktu 8 tahun dalam 4 kejadian penting. 1605 membangun taman Danalaya dan Segaran, 1610 membangun Lumbung Gading, 1611 membuat tempat berburu Krapyak Beringan, dan 1613 Pangeran Sedo Krapyak wafat. Taman Danalaya dan Segaran-Lumbung Gading-Krapyak Beringan sampai sekarang posisinya letaknya belum jelas, kecuali Krapyak Beringan. Sangat besar kemungkinan bahwa Lumbung Gading itu berada di sekitar Kampung Gading yang terletak di selatan Plengkung Nirboyo. Maka dapat diasumsikan bahwa Taman Danalaya dan Segaran juga berada di sekitar wilayah itu, dan dapat dimungkinkan bahwa Pemandian Umbul Krapyak dan Kawasan Segaran Krapyak adalah lokasi dimana berada Taman Danalaya dan Segaran itu, atau dengan kata lain bahwa Pemandian Umbul Krapyak adalah Taman Danalaya yang dibangun oleh Panembahan Hanyokrowati pada tahun 1605 sebagaimana tersebut dalam Serat Kandha tersebut. Oleh karena itu diperlukan riset dan penelitian lebih mendalam mengenai keberadaan segitiga emas Danalaya-Gading-Krapyak tersebut.

Kamis, 05 Mei 2016

TOPONIM : SEJARAH KAMPUNG SOROWAJAN DESA PANGGUNGHARJO, KECAMATAN SEWON, KABUPATEN BANTUL

TOPONIM : SEJARAH KAMPUNG SOROWAJAN
DESA PANGGUNGHARJO, KECAMATAN SEWON, KABUPATEN BANTUL

SOROWAJAN KAMPUNG UKM
Sorowajan adalah nama kampung yang unik. Kampung yang berbatasan langsung dengan Ring road selatan ini, secara administratif masuk wilayah Pedukuhan Glugo, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul. Kegiatan ekonomi dan pekerjaan utama penduduk kampung Sorowajan ini adalah bergerak dibidang UKM, baik sebagai produsen, jasa maupun berjualan membuka warung kecil untuk kebutuhan masyarakat sekitar. Maka dapat dikatakan bahwa Kampung Sorowajan adalah merupakan kampung mandiri secara ekonomi, karena semua kebutuhan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari dapat disediakan dan didapat dikampung ini, sehingga sebenarnya masyarakat tidak perlu keluar kampung untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-harinya, baik kebutuhan primer seperti : peralatan sabun cuci, sabun mandi, warung siap santap, warung kelontong, sembako, warung sayur, bahkan untuk kebutuhan sekunder seperti tas, kios pakaian, penjahit dan konveksi, sepatu dan sandal, meubel dan dan lain-lain. Di bidang jasa, di kampung ini juga bisa didapatkan jasa laundry, bengkel motor, tambal ban, tukang kayu, tukang batu, tukang cat dan melamine, juga penjahit pakaian baik untuk produk massal maupun skala konveksi. Usaha lainnya yaitu : Industri Tahu Tempe, Industri Jamu Tradisional, Industri Tas Seminar, Industri Kaos, Konveksi, Batik, Kerajinan Rajutan, Kerajinan Kulit, Jok Kursi, Grosir Sepatu, Ternak Burung Berkicau, Usaha Bahan Bangunan, Usaha pemancingan, dan lain-lain. Warga Kampung Sorowajan juga berjualan aneka makanan, seperti : Mie Ayam, Bakso, Sate Ayam Madura, Warung Angkringan, Warung Gorengan, Bakwan Kawi, Gudheg, Lotek, Soto, Burger, Ice Juice, Ice Cream, Cilok Bledek, Aneka panganan dan jajanan pasar, Bubur Sumsum, Klepon, Es Kelapa Muda, disamping itu juga banyak pedagang makanan keliling yang menjajakan dagangannya di Kampung Sorowajan ini, seperti Tahu Bulat, Siomay, Batagor, Empek-Empek, Burjo, Buah potong, Es Doger, Es Jaipong, Ronde, dan lain-lain.
Jadi secara ringkas tinggal di Kampung Sorowajan segalanya tersedia di kampung ini, baik untuk kebutuhan primer maupun sekunder.
SEJARAH KAMPUNG SOROWAJAN
Sebelum adanya kampung Sorowajan sekarang ini, cikal bakal kampung ini adalah dikenal adanya sebuah Pesanggrahan Klundo yang sekarang berada di wilayah RT 12, dimana berdiam Pangeran Soro atau Syech Noor. Klundo adalah kependekan dari Kluwih-Bendo, dimana ditempat tersebut dahulu pernah ada pohon kluwih tetapi bagian cabangnya menjulang 2 macam, yang sebelah tetep berbentuk kluwih tetapi cabang yang lainnya berbentuk pohon bendo baik buah maupun daunnya. Bendo adalah pohon sejenis sukun-sukunan tetapi permukaan kulitnya runcing dan buahnya lebih mirip nangka, daunnya berbentuk bulat seperti daun jati (kluwih dan sukun daunnya menjari), buahnya mirip kluwih tetapi manis dan wangi seperti cempedak, bentuk dagingnya putih dengan biji berbentuk bulat seperti biji kluwih, sedangkan nangka atau cempedak dagingnya berwarna kekuningan dengan biji bulat memanjang.
Ditilik dari nama dan gelarnya, beliau adalah seorang keturunan bangsawan dan bahkan putra dari seorang raja yang bertahta, namun tidak ada keterangan secara jelas, dan tidak ada keluarga dari keturunan beliau yang sekarang menjadi warga dan mendiami di Kampung Sorowajan ini. Disamping makam beliau yang telah direnovasi pada tahun 1978, peninggalan beliau adalah belik sorowajan, yaitu sebuah mata air yang terus mengalir dan tak pernah berhenti meskipun musim kemarau panjang. Peninggalan lain adalah Pekuburan Klundo dimana beliau disemayamkan, termasuk dimakamkan di sini adalah Keluarga Lurah Krapyak R. Ponco Inggeno (Salah satu kelurahan sebelum penggabungan menjadi Kelurahan Panggungharjo pada tahun 1946). Siapakah sejatinya Pangeran Soro atau Syech Noor ini...?
Ada sementara warga Sorowajan yang berpendapat bahwa Pangeran Soro atau Syech Noor adalah keturunan Brawijaya V dari Majapahit. Tapi cerita ini segera terbantahkan, karena nama “Syech” pada waktu itu hanya digunakan oleh bangsawan atau ulama Keturunan Arab / Timur Tengah.

Cerita lain, beliau adalah bangsawan dari kerajaan Banten. Pada waktu itu hubungan Kerajaan Banten dengan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo terjalin sangat baik, bahkan salah satu istri Sultan Agung yaitu Ratu Kulon adalah Putri dari Kerajaan Cirebon yang masih saudara dari Kerajaan Banten yaitu keduanya adalah putra dari Sunan Gunung Jati. Tetapi pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I hubungan antar kerajaan itu memburuk. Kemudian cerita ini mengalir, bahwa Pangeran Soro adalah salah satu dari putra kerajaan Banten atau Kerajaan Surosowan. Untuk mengaburkan keberadannya beliau memakai nama Pangeran Soro yang merupakan kependekan dari nama Pangeran Surosowan. Sedangkan nama gelar Syech Noor, diambil dari gelar Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) yaitu Syeh Nurullah. Maka jelaslah sudah, bahwa Pangeran Soro atau Syech Noor adalah putra dari Kerajaan Banten Surosowan, yang juga merupakan keturunan dari Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah).
Bagaimana seorang Pangeran dari kerajaan Banten bisa sampai di Mataram. Ada 3 versi tentang kedatangan beliau di tanah Mataram. Versi pertama menyebutkan pada tahun antara 1655-1658 di mana pada waktu itu Pangeran Soro merupakan utusan dari Sultan Ageng Tirtayasa (Raja ke 6) dari Kerajaan Surosowan Banten, maksud kedatangannya di Mataram adalah untuk meminta bantuan kepada Mataram dalam perang melawan VOC di Batavia, sebagaimana diketahui bahwa Mataram di masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo pernah menyatakan perang melawan VOC di Batavia pada tahun 1628-1629. Namun permintaan bantuan dari Pangeran Soro ini ditolak oleh Sunan Amangkurat I yang pada masa itu justru malah berhubungan baik dengan VOC, dan karena kegagalannya ini Pangeran Soro sebagai pimpinan delegasi/utusan merasa malu untuk kembali ke Kerajaan Banten, dan memilih tinggal di kawasan Mataram.
Versi ke dua menyebutkan bahwa kedatangan Pangeran Soro ke Mataram pada tahun 1677 dalam tugas untuk membantu Kerajaan Cirebon membebaskan 2 putera Pangeran Giriloyo (Sultan Cirebon) yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya yang ditahan oleh Pemberontakan Trunajaya
Versi ke tiga sebenarnya adalah penggabungan dari kedua versi sebelumnya, yakni bahwa Pangeran Soro adalah bagian dari pasukan teliksandi/pasukan intelijen, sehingga keberadaanya di Kerajaan Mataram sangatlah bersifat rahasia, beliau tidak menampakkan diri secara mencolok dan tinggal di daerah pinggiran Kerajaan Mataram. Secara rutin beliau wajib menyampaikan laporan kepada Kerajaan Banten tentang perkembangan politik dan pemerintahan yang terjadi di Kerajaan Mataram. Ketika kedatangan pasukan Banten untuk membebaskan putra Pangeran Giriloyo (Sultan Cirebon) yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya yang ditahan oleh Pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677 Pangeran Soro sebagai pasukan telik sandi aktif menyampaikan perkembangan yang terjadi dan memberikan pertimbangan-pertimbangan mengenai jalur penyerangan dan strategi pembebasan sandera tersebut.
Dari ketiga versi tersebut, dapat disimpulkan bahwa versi ketiga merupakan rangkaian cerita yang paling bisa diterima. Informasi ini juga akan menjawab, mengapa seorang Pangeran dari kerajaan Banten berada dan tinggal di Kampung Klundo ? Daerah kampung Klundo pada tahun 1605 (Taman Danalaya - Serat Kandha) merupakan bagian dari bantaran aliran sungai kecil buangan dari mata air “segaran krapyak” yang memiliki legenda berhubungan dengan “pemandian umbul krapyak”, yang merupakan bagian dari alas krapyak paberingan yang pada tahun 1611 - 1613 digunakan sebagai daerah wisata berburu oleh Sultan Hanyokrowati atau yang dikenal sebagai Pangeran Sedo Krapyak (Raja ke 2 Mataram yang bertahta di Keraton Kotagedhe). Secara geografis daerah ini merupakan daerah pinggiran kerajaan Mataram, maka sebagai pasukan telik sandi bisa mengamati perkembangan kerajaan Mataram di Pleret, karena pusat kerajaan hanya sekitar 8 km, jika berjalan kaki dapat ditempuh sekitar setengah hari (4-6 jam). Topografi daerah kampung Klundo agak tinggi sekitar satu meter dari badan air aliran sungai, perbedaan topografi itu sampai sekarang masih sangat kelihatan, bahkan di sebelah timur daerah segaran krapyak dikenal sebagai “kampung gunungan” karena perbedaan topografi yang sangat mencolok itu. Perbedaan elevasi tanah inipun dinilai sangat strategis sebagai daerah persembunyian dan pertahanan. Disamping itu wilayah ini juga tidak pernah kekurangan air dan tanahnya sangat subur, cocok untuk lahan pertanian dan ikan juga bisa didapatkan dengan mudah disini, sampai dengan tahun 1990an masih banyak kita jumpai ikan gabus, sepat, wader, cethul, uceng, belut, dan lain-lain. Kondisi alam yang sepertri ini dinilai sangat strategis karena bisa mencukupi hidup bagi Pangeran Soro sebagai pasukan telik sandi sehingga tidak perlu ke pusat kota atau ke pasar untuk membeli bahan makanan.

Keberadaan belik sorowajan sebagai peninggalan dari Pangeran Soro juga menjadi bukti bahwa daerah ini merupakan daerah yang subur dan mata airnya tidak pernah surut meskipun di musim kemarau. Fenomena geologis pada masa lampau dapat dilihat dan diamati pada mata air di belik sorowajan ini, dimana pada tahun 1990an airnya masih cukup jernih tetapi, sekarang airnya mengeluarkan gelembung-gelembung berwarna hijau kekuningan, yang merupakan indikasi adanya gas metan yang keluar bersama mata air. Gas metan merupakan indikasi adanya suatu lapisan batubara muda dibawah permukaan, dimana pada jaman dahulu daerah ini merupakan bagian dari daerah rawa-rawa. Menurut legenda masyarakat, bahwa daerah segaran krapyak yang berada diatas/sebelah utara kampung Klundo pada jaman dahulu airnya terasa asin, fenomena air asin ini secara geologis mengindikasikan bahwa ada jebakan air laut karena proses pengangkatan sebagaimana daerah danau purba yang ada di sekitar Candi Borobudur.

Jadi pada waktu Pangeran Soro tinggal ditempat ini dapat digambarkan bukanlah sebuah hutan belantara tetapi sebuah lingkungan yang asri dan indah, yaitu sudah berupa hamparan lahan pertanian kecil yang subur disamping aliran sungai kecil dengan mata airnya yang jernih dan banyak ikannya. Secara geografis, meskipun berada di daerah pinggiran, namun posisinya sangat strategis karena berada diantara pusat-pusat keramaian pada jaman itu yaitu : Kerajaan Mataram Kotagedhe, Kerajaan Mataram Pleret, Pesanggrahan Ngeksigondo, Perdikan Mangir, dan tempat wisata berburu hutan krapyak paberingan (yang kemudian direncanakan akan dibangun sebagai Garjitowati).
SIMPULAN
Kesimpulan akhir tentang toponim Kampung Sorowajan dan jati diri Pangeran Soro atau Syech Noor, bahwa keberadaan Kampung Sorowajan berhubungan dengan nama cikal bakal Kampung Sorowajan adalah seorang prajurit telik sandi atau intelijen dari Kerajaan Surosowan di Banten yang diberi tugas untuk mengamati, mengawasi, dan melaporkan perkembangan keadaan politik dan pemerintahan Mataram, serta bisa memfasilitasi dan membantu merancang strategi pertahanan dan penyerangan ke Mataram pada saat pembebasan tahanan putera Pangeran Giriloyo (Sultan Cirebon) yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya yang ditahan oleh Pemberontakan Trunajaya.
Berdasarkan uraian di atas, maka Pangeran Soro atau Syech Noor bertempat tinggal di Kampung Klundo yang kemudian dikenal sebagai Kampung Sorowajan diantara tahun 1655 – 1677. Jika dirunut secara kronologis kebelakang, sebagai pasukan telik sandi yang mumpuni / dipercaya secara professional, beliau pada saat itu berumur sekitar 35 tahun, jadi beliau lahir sekitar tahun 1620an. Kemudian jika dirunut ke depan berdasarkan usia general manusia pada umumnya secara rata-rata pada waktu itu adalah 80 tahun, maka beliau wafat pada sekitar awal tahun 1700an. Pada tahun ini, pusat pemerintahan Kerajaan Mataram sudah dipindahkan dari Keraton Pleret ke Keraton Kartasura, dimana Raja yang berkuasa pada waktu itu adalah pemerintahan Sunan Amangkurat III ( 1703 – 1704 ) atau Sunan Pakubuwana I / Pangeran Puger ( 1704 – 1719 ). Jadi beliau tinggal di wilayah Mataram diantara masa pemerintahan Sunan Amangkurat I dan Sunan Amangkurat II, jauh sebelum Kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi / Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755.
Pada batu nisan Pangeran Soro atau Syech Noor tertulis dibangun pada tanggal 06 April 1976, menurut penuturan masyarakat sekitar dibangun oleh seseorang yang bernama Romo Gandung yang pada waktu itu berdomisili di Kampung Brontokusuman Yogyakarta, berdasarkan wisik atau bisikan gaib yang memerintahkan Romo Gandung untuk mencari makam seorang bangsawan yang sakti untuk dapat dibangun semestinya sesuai dengan jasa-jasa dan martabatnya agar dapat dikenang oleh masyarakat.
Tulisan ini didapatkan dari penuturan masyarakat dan kajian dari beberapa artikel yang dimuat di situs internet, disusun secara kronologis dan dikembangkan sehubungan dengan kepentingan penyusunan identitas dan toponim Kampung Sorowajan Pedukuhan Glugo Desa Panggungharo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul. Pada perkembangannya tulisan ini dapat dikoreksi ataupun diluruskan apabila didapat bukti dan fakta-fakta yang lebih mendukung.