Jumat, 18 Januari 2013

ASAL-USUL DUSUN DAN KECAMATAN SEWON, BANTUL, YOGYAKARTA

MELACAK ASAL-USUL DUSUN DAN KECAMATAN SEWON,
BANTUL, YOGYAKARTA

Keberadaan Dusun dan Kecamatan Sewon tidak dapat dipisahkan dari peran Syeh Sewu yang pernah datang dan membuka wilayah ini. Nama Sewon memang diambilkan dari nama Syeh Sewu. Menurut penduduk setempat Syeh Sewu adalah salah seorang penyebar agama Islam. Ada satu versi yang menyatakan bahwa Syeh Sewu adalah orang yang berasal dari Tanah Arab yang datang ke Pulau Jawa dan kemudian bersama-sama dengan Syeh Maulana Maghribi, Syeh Belabelu, dan Syeh Damiaking menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Tujuan pertama ketiga syeh itu adalah wilayah Pantai Selatan Pulau Jawa, khususnya di kawasan Pantai Parangtritis, Parangkusuma, Karangbolong, dan Bantul pada umumnya. Akan tetapi Syeh Sewu ini meninggal di sebuah dusun yang sekarang dinamakan Dusun Sewon. Ada pula versi lain yang menyatakan bahwa Syeh Sewu adalah pelarian dari Majapahit yang kemudian menetap dan meninggal di Dusun Sewon.
Berawal dari berkembangnya Dusun Sewon ini kemudian di wilayah ini pernah berdiri kantor onder district atau asistenan wedana yang dinamakan Keasistenan Wedanan Sewon. Kantor Kawedanan ini pernah pula dipindahkan ke Dusun Cabeyan kemudian ke Dusun Dadapan. Dari Dusun Dadapan lalu berpindah lagi ke Dusun Cabeyan. Dari Cabeyan ini lantas pindah lagi ke Ngijo (Kantor Kecamatan Sewon sekarang). Kecamatan Sewon sendiri sekarang terdiri atas beberapa Kalurahan atau Desa, yakni Kalurahan Panggungharjo, Kalurahan Timbulharjo, dan Kalurahan Pendowoharjo. Sedangkan keletakan Dusun Sewon hanya sekitar 1,5 kilometer di sisi timur kompleks Rumah Budaya Tembi.
Sampai sekarang makam Syeh Sewu sebagai cikal bakal Dusun dan kemudian Kecamatan Sewon masih terawat dengan baik. Hanya saja makam Syeh Sewu ini sampai sekarang tidak berbatu nisan. Menurut Bapak Hisham Anwar (73) selaku salah satu pengurus atau sesepuh Mesjid Syeh Sewu, ketidakbernisanan makam ini memang disengaja. Menurutnya semasa hidup Syeh Sewu pernah berpesan agar jika dirinya kelak meninggal tidak usahlah kuburannya diberi nisan.
Tidak jauh dari makam Syeh Sewu juga terdapat makam tokoh lain yakni makam Tumenggung Ranadigdaya dan Nyai Sedah Mirah. Kedua tokoh ini diduga merupakan punggawa Kerajaan Kasultanan Yogyakarta. Bahkan disebutkan bahwa salah satu keturunan Tumenggung Ranadigdaya diperistri oleh Sultan Hamengku Buwana 
Salah satu peninggalan Syeh Sewu yang sampai sekarang masih terlestarikan di Dusun Sewon berupa bangunan masjid yang diberi nama Mesjid Syeh Sewu. Mesjid ini sampai sekarang masih terawat dengan baik dan digunakan untuk peribadatan masyarakat setempat.
Mitos
Sampai sekarang masih hidup mitos bahwa gadis-gadis yang berasal dari Dusun Sewon terkenal akan kecantikannya. Hal ini terjadi karena pada masa lalu di Dusun Sewon banyak dihuni perangkat keasistenan (pamong kecamatan, kalurahan, maupun dusun). Perangkat-perangkat ini pada masa lalu biasanya memiliki istri yang cantik dan pada akhirnya menurunkan keturunan yang cantik-cantik pula pada zaman-zaman berikutnya.


Teks: Sartono K.
Foto: Didit PD dan Sartono K

Biografi KH Munawir Krapyak Jogjakarta

silsilah guru Qur'an dan biografi KH Munawir Krapyak Jogjakarta

Tak keliru jika dikatakan bahwa Bulan Ramadhan adalah bulannya Al-Quran, ya karena di dalam bulan inilah Al-Quran diwahyukan pertama kali kepada Rasulullah, Nabi Muhammad saw.

Nah, tak salah juga jika dalam Bulannya Al-Quran ini, saya coba hidangkan khusus untuk Anda semua tentang biografi singkat mahaguru kami, seorang Maestro Al-Quran, Ulama Besar yang menebar semerbak harum Al-Quran di manapun ia berada, terutama di Tanah Jawa, dan menelurkan ribuan Ulama Ahli Quran serta Huffadz  Al-Quran yang tersebar di penjuru Nusantara.

Biografi ini saya sadur sedikit saja dari Buku “MANAQIBUS SYAIKH: K.H.M. MOENAUWIR ALMARHUM: PENDIRI PESANTREN KRAPYAK YOGYAKARTA” yang diterbitkan oleh MAJLIS AHLEIN (Keluarga Besar Bani Munawwir) Pesantren Krapyak, keluaran tahun 1975. Jadi jika Anda ingin meng-COPY-PASTE biografi beliau ini, mohon SERTAKAN PULA SUMBERNYA, yakni buku tersebut.

Dalam hal ini, mari kita akan mengenal sedikit tentang beliau dengan menelaah;
  1. NASAB
  2. MASA BELAJAR
  3. AKHLAQ
  4. DA’WAH
  5. KAROMAH
  6. MAQOLAH, serta
  7. WAFAT DAN PENERUS beliau.
Semoga dengan dikenangnya Seorang Shalih lewat dunia maya ini, Allah Ta’ala berkenan melimpahkan Rahmatnya kepada kita semua. Selamat menikmati;

A. NASAB K.H.M. MOENAUWIR

Simbah K.H.M. Moenauwir adalah putra K.H. Abdoellah Rosjad bin K.H. Hasan Bashori.

Dahulu, ada seorang ulama pejuang, K.H. Hasan Bashori namanya, atau yang lebih dikenal dengan nama Kyai Hasan Besari ajudan Pangeran Diponegoro. Beliau sangat ingin menghapalkan Kitab Suci Al-Quran namun terasa berat setelah mencobanya berkali-kali. Akhirnya beliau melakukan riyadhoh dan bermujahadah, hingga suatu saat Allah swt. mengilhamkan bahwa apa yang dicita-citakan itu baru akan dikaruniakan kepada keturunannya.

Begitu pula anak beliau, K.H. Abdoellah Rosjad, selama 9 tahun riyadhoh menghapalkan Al-Quran, ketika berada di Tanah Suci Makkah, beliau mendapat ilham bahwa yang akan dianugerahi hapal Al-Quran adalah anak-cucunya.

K.H. Abdoellah Rosjad dikaruniai 11 orang anak dari 4 orang istri, salah satunya adalah K.H.M. Moenauwir yang merupakan buah pernikahan beliau dengan Nyai Khodijah (Bantul).

B. MASA BELAJAR

Guru pertama beliau adalah Ayah beliau sendiri. Sebagai Targhib (penyemangat) nderes Al-Quran, Sang Ayah memberikan hadiah sebesar Rp 2,50 jika dalam tempo satu minggu dapat mengkhatamkannya sekali. Ternyata hal ini terlaksana dengan baik, bahkan terus berlangsung sekalipun hadiah tak diberikan lagi.

K.H.M. Moenauwir tidak hanya belajar Qiro’at (Bacaan) dan Menghafal Al-Quran saja, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang beliau timba dari Ulama-ulama di masa itu, di antaranya;

1. K.H. Abdullah (Kanggotan – Bantul)
2. K.H. Cholil (Bangkalan – Madura)
3. K.H. Sholih (Darat – Semarang)
4. K.H. Abdurrahman (Watucongol – Magelang)

Setelah itu, pada tahun 1888 M. beliau melanjutkan pengajian Al-Quran serta pengembaraan menimba ilmu ke Haramain (Dua Tanah Suci), baik di Makkah Al-Mukarromah maupun di Madinah Al-Munawwaroh. Adapun Guru-guru beliau antara lain;
  1. Syaikh Abdullah Sanqoro
  2. Syaikh Syarbini
  3. Syaikh Mukri
  4. Syaikh Ibrohim Huzaimi
  5. Syaikh Manshur
  6. Syaikh Abdus Syakur
  7. Syaikh Mushthofa
  8. Syaikh YUSUF HAJAR (Guru beliau dalam Qiro’ah Sab’ah)
Pernah dalam suatu perjalanan dari Makkah ke Madinah, tepatnya di Rabigh, beliau berjumpa dengan seorang tua yang tidak beliau kenal. Pak Tua mengajak berjabat tangan, lantas beliau minta didoakan agar menjadi seorang Hafidz Al-Quran sejati. Lalu Pak Tua menjawab “Insyaa-Allah.” Menurut K.H. Arwani Amin (Kudus), orang tua itu adalah Nabiyullah Khidhr a.s.

K.H.M. Moenauwir ahli dalam Qiro’ah Sab’ah (7 bacaan Al-Quran). Dan salah satunya adalah Qiro’ah IMAM ‘ASHIM riwayat IMAM HAFSH, berikut inilah SANAD Qiro’ah Imam ‘Ashim riwayat Hafsh K.H.M. Moenawwir sampai kepada Nabi Muhammad saw., yakni dari;
  1. Syaikh Abdulkarim bin Umar Al-Badri Ad-Dimyathi, dari
  2. Syaikh Isma’il, dari
  3. Syaikh Ahmad Ar-Rosyidi, dari
  4. Syaikh Mushthofa bin Abdurrahman Al-Azmiri, dari
  5. Syaikh Hijaziy, dari
  6. Syaikh Ali bin Sulaiman Al-Manshuriy, dari
  7. Syaikh Sulthon Al-Muzahiy, dari
  8. Syaikh Saifuddin bin ‘Athoillah Al-Fadholiy, dari
  9. Syaikh Tahazah Al-Yamani, dari
10.  Syaikh Namruddin At-Thoblawiy, dari
11.  Syaikh Zakariyya Al-Anshori, dari
12.  Syaikh Ahmad Al-Asyuthi, dari
13.  Syaikh Muhammad Ibnul Jazariy, dari
14.  Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Kholiq Al-Mishri As-Syafi’i, dari
15.  Al-Imam Abi al-Hasan bin As-Syuja’ bin Salim bin Ali bin Musa Al-‘Abbasi Al-Mishri, dari
16.  Al-Imam Abi Qosim As-Syathibi, dari
17.  Al-Imam Abi al-Hasan bin Huzail, dari
18.  Ibnu Dawud Sulaiman bin Najjah, dari
19.  Al-Hafidz Abi ‘Amr Ad-Daniy, dari
20.  Abi al-Hasan At-Thohir, dari
21.  Syaikh Abi al-‘Abbas Al-Asynawiy, dari
22.  ‘Ubaid ibnu as-Shobbagh, dari
23.  Al-Imam Hafsh, dari
24.  Al-Imam ‘Ashim, dari
25.  Abdurrahman As-Salma, dari
26.  Saadaatina Utsman bin ‘Affan, ‘Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, ‘Ali bin Abi Tholib, dari
27.  Rasulullah, Muhammad saw. dari Robbil ‘Aalamiin Allah swt., dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s.

Beliau menekuni Al-Quran dengan Riyadhoh, yakni sekali khatam dalam 7 hari 7 malam selama 3 tahun, lalu sekali khatam dalam 3 hari 3 malam selama 3 tahun, lalu sekali khatam dalam sehari semalam selama 3 tahun, dan terakhir adalah Riyadhoh membaca Al-Quran selama 40 hari tanpa henti hingga mulut beliau berdarah karenanya.
Setelah 21 tahun menimba ilmu di Tanah Suci, beliau pun kembali ke kediaman beliau di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1909 M.

C. AKHLAQ

K.H.M. Moenauwir selalu memilih awal waktu untuk menunaikan Sholat, lengkap dengan Sholat Sunnah Rawatibnya. Sholat Witir beliau tunaikan 11 Raka’at dengan hafalan Al-Quran sebagai bacaannya. Begitu juga dalam mudawamah beliau terhadap Sholat Isyroq (setelah terbit Matahari), Sholat Dhuha dan Sholat Tahajjud.

Beliau mewiridkan Al-Quran tiap ba’da Ashar dan ba’da Shubuh. Walau sudah hapal, seringkali beliau tetap menggunakan Mushaf. Bahkan kemana pun beliau bepergian, baik berjalan kaki maupun berkendara, wirid Al-Quran tetap terjaga. Beliau mengkhatamkan Al-Quran sekali tiap satu minggu, yakni pada hari Kamis Sore. Demikianlah beliau mewiridkan Al-Quran semenjak berusia 15 tahun.

Waktu siang beliau lewatkan dengan mengajarkan Al-Quran, dan di waktu senggang beliau masuk ke dalam kamar khusus (dahulu terletak di sebelah utara masjid) untuk bertawajjuh kepad Allah swt. Sedangkan di malam hari beliau istirahat secara bergilir di antara istri-istri dengan demikian adilnya.

Beliau memiliki 5 orang istri, adapun istri kelima, dinikahi setelah wafatnya istri pertama, yakni;
  1. Nyai R.A. Mursyidah (Kraton Yogyakarta)
  2. Nyai Hj. Sukis (Wates Yogyakarta)
  3. Nyai Salimah (Wonokromo Yogyakarta)
  4. Nyai Rumiyah (Jombang – Jawa Timur)
  5. Nyai Khodijah (Kanggotan – Yogyakarta)
Begitulah K.H.M. Moenauwir hidup beserta keluarga di tengah ketenangan, kerukunan, istiqomah dan wibawa, dengan berkah Al-Quranul Kariim.

Orang hafal Al-Quran (Hafidz) yang beliau akui adalah orang yang bertakwa kepada Allah, dan Sholat Tarawih dengan hafalan Al-Quran sebagai bacaannya.

Begitu besar pengagungan beliau terhadap Al-Quran, sampai-sampai undangan Haflah Khotmil Quran hanya beliau sampaikan kepada mereka yang jika memegang Mushaf Al-Quran selalu dalam keadaan suci dari Hadats.

Pernah terjadi seorang santri asal Kotagede dengan sengaja memegang Mushaf Al-Quran dalam keadaan hadats. Setelah diusut oleh K.H.M. Moenauwir, akhirnya santri tersebut mengakuinya. Atas pengakuannya, si santri dita’zir, kemudian dikeluarkan dari Pesantren dalam keadaan sudah menghapalkan Al-Quran 23,5 juz.

Setiap setengah bulan sekali, beliau memotong rambut, juga tak pernah diketahui membuka tutup kepala, selalu tertutup, baik itu dengan kopyah, sorban, maupun keduanya. Menggunting kuku selalu beliau lakukan tiap hari Jum’at.

Pakaian beliau sederhana namun sempurna untuk melakukan ibadah, rapi dan bersetrika. Jubah, sarung, sorban, kopyah dan tasbih selalu tersedia. Pakaian dinas Kraton Yogyakarta selalu beliau kenakan ketika menghadiri acara-acara resmi Kraton. Untuk bepergian, beliau sering mengenakan baju jas hitam, sorban, dan sarung.

Beliau tidak suka makan sampai kenyang, terlebih lagi di bulan Ramadhan, yakni cukup dengan satu cawan nasi ketan untuk sekali makan. Jika ada pemberian bantuan dari orang, beliau pergunakan sesuai dengan tujuan pemberinya, jika ada kelebihan, maka akan dikembalikan lagi kepada pemberinya.

Walau beliau termasuk dalam abdi dalem (anggota dalam) Kraton, namun beliau tidak suka mendengarkan pementasan Gong Barzanji. Sebagai hiburan, beliau senang sekali mendengarkan lantunan Sholawat-sholawat, Burdah dan tentunya Tilawatil Quran.

Para santri beliau perintahkan untuk berziarah di Pemakaman Dongkelan tiap Kamis Sore. Tiap berziarah, beliau membaca Surah Yasin dan Tahlil. Apabila terjadi suatu peristiwa yang menyangkut ummat pada umumnya, beliau mengumpulkan semua santri untuk bersama-sama tawajjuh dan memanjatkan do’a kehadirat Allah, biasanya dengan membaca Sholawat Nariyyah 4444 kali atau Surat Yasin 41 kali.

Selain mengasuh santri, beliau tak lantas meninggalkan tugas sebagai kepala rumah tangga. Tiap ba’da Shubuh, beliau mengajar Al-Quran kepada segenap keluarga dan pembantu rumah tangga. Nafkah dari beliau, baik untuk istri-istri maupun anak-anak, selalu cukup menurut kebutuhan masing-masing. Suasana keluarga senantiasa tenang, tenteram, rukun, dan tidak sembarang orang keluar-masuk rumah selain atas ijin dan perkenan dari beliau.

Hampir-hampir beliau tak pernah marah kepada santrinya, selain dalam hal yang mengharuskannya. Pernah suatu waktu beliau tiduran di muka kamar santri, tiba-tiba bantal yang beliau pakai diambil secara tiba-tiba oleh seorang santri, sampai terdengar suara kepala beliau mengenai lantai. Lantas beliau memanggil santri yang mengambil bantal tadi seraya berkata; “Nak... saya pinjam bantalmu, karena bantal yang saya pakai baru saja diambil oleh seorang santri.”

Seringkali beliau memberikan sangu kepada santri yang mohon ijin pulang ke kampung halamannya, dan sangat memperhatikan kehidupan santri-santrinya. Para santri pun dianjurkan untuk bertamasya ke luar pesantren, biasanya sekali tiap setengah bulan, sebagai pelepas penat.

Sebagai layaknya seorang Ulama, K.H.M. Moenauwir juga akrab dan sering mendapat kunjungan dari Ulama-ulama lain, di antaranya;
  1. Murid-murid Syaikh Yusuf Hajar dari Madinah
  2. K.H. Sa’id (Gedongan – Cirebon)
  3. K.H. Hasyim Asy’ari (Jombang)
  4. K.H.R. Asnawi (Kudus)
  5. K.H. Manshur (Popongan)
  6. K.H. Siroj (Payaman – Magelang)
  7. K.H. Dalhar (Watucongol – Magelang)
  8. K.H. Ma’shum (Lasem)
  9. K.H.R. Adnan (Solo)
10.  K.H. Dimyati (Tremas – Pacitan)
11.  K.H. Idris (Jamsaren – Solo)
12.  K.H. Abbas (Buntet – Cirebon)
13.  K.H. Siroj (Gedongan – Cirebon)
14.  K.H. Harun (Kempek – Cirebon)
15.  K.H. Muhammad (Tegalgubuk – Cirebon)
16.  Para Kyai dari Jombang dan Pare
17.  Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan IX
18.  B.R.T. Suronegoro
19.  K.H. Asy’ari (Wonosobo) yang merupakan teman semasa belajar di Tanah Suci.

Selain dikunjungi, beliau juga kerapkali mengadakan kunjungan balasan terhadap Para Ulama yang lain, seperti kepada K.H. Hasyim Asy’ari (Jombang), K.H. Ahmad Dahlan (Yogyakarta), maupun yang lainnya.

Beliau juga mendapat kepercayaan dari pihak Kraton untuk menjadi anggota JEMANGAH, yakni jama’ah Sholat tetap yang terdiri dari 41 orang Ulama, dimaksudkan sebagai penolak bencana Negara.

D. DAKWAH

Sepulang dari Makkah pada tahun 1909 M., beliau lantas mendakwahkan Al-Quran di sekitar kediaman beliau di Kauman. Tepatnya di sebuah langgar kecil milik beliau, tempat tersebut sekarang sudah menjadi Gedung Nasyiatul ‘Aisyiyyah Yogyakarta.

Lantas pindah ke Gading, tinggal bersama kakak beliau, K.H. Mudzakkir. Namun karena berbagai sebab, juga atas saran dari K.H. Sa’id (Pengasuh Pesantren Gedongan, Cirebon), pada tahun 1910 M. beliau pun hijrah ke Krapyak setelah selesainya pembangunan tempat tinggal dan komplek pesantren di sana, di tanah milik Bapak Jopanggung yang kemudian dibeli dengan uang amal dari Haji Ali.

Pada 15 November 1910, Pesantren Krapyak mulai ditempati untuk mengajar Al-Quran. Dilanjutkan dengan pembangunan Masjid atas prakarsa K.H. Abdul Jalil.

Konon, K.H. Abdul Jalil dalam memilih tempat untuk pembangunan masjid, adalah dengan menggariskan tongkatnya di atas tanah sehingga membentuk batas-batas wilayah yang akan dibangun masjid. Dengan Kehendak Allah, wilayah yang dilingkupi garis itu tidak ditumbuhi rumput.

K.H.M. Moenauwir selalu mengerahkan segenap santri untuk melakukan amaliyah membaca Surah Yasin tiap selesai pembangunan berlangsung. Pembangunan terus berlanjut secara bertahap, mulai dari masjid, akses jalan, dan gedung komplek santri hingga tahun 1930 M.

Di Pesantren Krapyak inilah beliau memulai berkonsentrasi dalam pengajaran Al-Quran. Para santri sangat menghormati beliau, bukan karena takut, melainkan karena Haibah, wibawa beliau.

Pengajian pokok yang diasuh langsung oleh K.H.M. Moenauwir adalah Kitab Suci Al-Quran, yakni terbagi atas 2 bagian; BIN-NADZOR (membaca) dan BIL-GHOIB (menghafal). Santri bermula dari Surat Al-Fatihah, lantas Lafadz Tahiyyat sampai dengan Shalawat Aali Sayyidina Muhammad, kemudian Surat An-Nas sampai Surat An-Naba’, baru kemudian Surat Al-Fatihah diteruskan ke Surat Al-Baqoroh sampai khatam Surat An-Nas.

Selain itu, pengajian Kitab-kitab juga digelar sebagai penyempurna. Suatu hari pada tahun 1910, seorang santri dari Purworejo, yang dianggap mampu oleh beliau, diperintahkan; “Ajarkanlah ilmu Fiqh kepada santri-santri di hari Jum’at, biarlah mereka mengenal air.”

Begitu seterusnya berkembang, baik kitab Fiqh maupun Tafsir, makin menonjol disamping Pengajian Al-Quran yang utama. Beliau mengajar secara sistem MUSYAFAHAH, yakni sorogan, tiap santri langsung membaca di hadapan beliau, jika ada kesalahan beliau langsung membetulkannya.

Adab (Tata Krama) dalam pengajian Al-Quran sangat beliau tekankan kepada para santri. Berbagai aturan dan ta’ziran beliau berlakukan terhadap para santri. Untuk santri yang telah khatam, maka dipanjatkanlah doa untuknya langsung oleh K.H.M. Moenauwir, lantas diberikanlah baginya sebuah Ijazah, yang intinya berisi pengakuan Ilmu dari guru kepada muridnya serta Tarottubur-Ruwat (Urutan Riwayat) atau Sanad dari Sang Guru sampai kepada Rasulullah saw. secara lengkap.

Banyak di antara murid-murid beliau yang juga meneruskan perjuangan di kampung masing-masing, berupa mendakwahkan Islam pada umumnya, dan pengajaran Al-Quran pada khususnya. Misal;
  1. K.H. Arwani Amin (Kudus)
  2. K.H. Badawi (Kaliwungu – Semarang)
  3. Kyai Zuhdi (Nganjuk – Kertosono)
  4. K.H. Umar (Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan – Solo)
  5. Kyai Umar (Kempek – Cirebon)
  6. K.H. Noor (Tegalarum – Kertosono)
  7. K.H. Muntaha (Pesantren Al-Asy’ariyyah, Kalibeber – Wonosobo)
  8. K.H. Murtadho (Buntet – Cirebon)
  9. Kyai Ma’shum (Gedongan – Cirebon)
10.  K.H. Abu Amar (Kroya)
11.  K.H. Suhaimi (Pesantren Tamrinus Shibyan, Benda – Bumiayu)
12.  Kyai Syathibi (Kyangkong – Kutoarjo)
13.  K.H. Anshor (Pepedan – Bumiayu)
14.  K.H. Hasbullah (Wonokromo – Yogyakarta)
15.  Kyai Muhyiddin (Jejeran – Yogyakarta)
16.  Haji Mahfudz (Purworejo)

Untuk para Mutakhorrijiin (Alumni), beliau senantiasa menjalin hubungan dan bimbingan, bahkan berupa kunjungan ke tempat masing-masing.

  F. MAQOLAH
    1. Sebuah Hadits Riwayat Abi Hurairah bahwa Nabi Muhammad saw., bersabda; “Yaa Aba Hurairah, pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang lain. Tetaplah engkau seperti itu hingga mati. Sesungguhnya jikalau kamu mati dalam keadaan seperti itu, malaikat berhaji ke kuburmu sebagaimana kaum Mukminin berhaji ke Baitullah al-Haram.”
    2. Sebuah sya’ir; “Semua ilmu termuat di dalam Al-Quran – Hanya saja orang-orang tak mampu memahami seluruh kandungannya.”
    3. “Jikalau engkau bermaksud akan sesuatu, maka bacalah Surah Yasin.”
    4. “Kalau mengaji Al-Quran, maka kajilah sampai khatam, supaya menjadi orang mulya.”
    5. “Waktu luang yang tidak digunakan untuk nderes Al-Quran adalah kerugian yang besar.”
    6. “Setelah seseorang hafal Al-Quran, maka haruslah ia TIDAK suka omong kosong dan TIDAK menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja mencari dunia.”
    7. “Wahai putera dan menantuku yang mempunyai tanggungan al-Quran, apabila kalian belum lancar benar, maka jangan sampai merangkap apapun, baik berdagang ataupun lainnya.”
    8. “Orang hafal Al-Quran berkewajiban memeliharanya, maka dari itu jangan melakukan hal-hal -termasuk menuntut ilmu- yang tidak fardhu, sekiranya dapat menyebabkan hafalannya hilang.”
    9. “Kalau kamu tidak mengaji Qiro’ah Sab’ah kepadaku, maka mengajilah kepada Arwani Amin Kudus.”
10.  “Buah Al-Quran adalah kebahagiaan dunia dan akhirat.”

11.  Beliau berkata kepada K.H. Basyir; “Marilah uzlah seperti saya, guna mengajarkan al-Quran. Kalau kita memikirkan harta dunia, maka akan binasalah Al-Quran nanti.”

12.  Beliau berkata kepada putri beliau, Nyai Hindun; “Orang hafal Al-Quran, mengamalkan isi kitab Majmu’ dan Mudzakarot, insyaAllah menjadi orang shalihah.”

13.  Beliau tidak mengijinkan santri-santrinya menjadi Pegawai Negeri Pemerintah Penjajah pada waktu itu.

14.  Beliau menyampaikan apa yang pernah diterima dari guru beliau, K.H. Cholil Bangkalan; “Apabila hidayah tiba, permusuhan pun musnah. Jadilah engkau bagaikan Air, dibutuhkan oleh siapa dan apa saja. Jika tidak begitu, maka jadilah seperti Batu, tidak ada bahaya maupun manfaat (secara aktif –red).  Janganlah engkau laksana Kalajengking, siapa melihat maka ia pun takut.”

15.  “Seyogyanya engkau hadiahkan berkah Surah al-Fatihah kepada segenap kaum Muslimin yang masih hidup, lebih-lebih diwaktu tertimpa marabahaya atau berperangai buruk, barangkali dapat menjadi obatnya. Sebagaimana guru saya K.H. Cholil pernah mengajarkan; (di nomor 16)

16.  Beliau menyampaikan apa yang disampaikan guru beliau, K.H. Cholil; “Teman-teman sekalian, jikalau engkau menghadiahkan berkah surat al-Fatihah jangan hanya kepada Muslimin yang sudah meninggal saja, tetapi juga yang masih hidup. Syukurlah jika kepadaku juga. Sebab Nabi Muhammad saw. pernah bersabda; ‘UDDA NAFSAKA MIN AHLIL QUBUUR (anggaplah dirimu termasuk ahli Qubur).”

17.  “Apabila engkau memohon kepada Allah, maka mohonlah Kesejahteraan (‘Aafiyah).”

18.  “Kelak di akhir jaman, Shin akan menguasai seluruh daerah.”

19.  Sebuah sya’ir; “Aku tak bisa mendapatkan kembali apa yang telah meninggalkan diriku, baik dengan LAHFA (kalau), dengan LAYTA (seandainya), ataupun dengan LAW-INNI (andaikan saya).”

20.  “Selama saya masih hidup, puteraku yang lelaki selalu saya suruh memakai kopyah. Sedangkan yang perempuan segera saya carikan jodoh, tak usah menunggu orang lain yang datang melamarnya.”

 G. WAFAT DAN PENERUS BELIAU

Sebagaimana manusia pada umumnya, K.H.M. Moenauwir menderita sakit selama 16 hari. Pada mulanya terasa ringan, namun lama-kelamaan semakin parah. Tiga hari terakhir saat beliau sakit, beliau tidak tidur.

Selama sakit, selalu berkumandanglah bacaan Surah Yasin 41 kali yang dilantunkan oleh rombongan-rombongan secara bergantian. Satu rombongan selesai membaca, maka rombongan lain menyusulnya, demikian tak ada putusnya.

Akhirnya, beliau, K.H.M. Moenauwir wafat Ba’da Jum’at tanggal 11 Jumadil Akhir tahun 1942 M. di kediaman beliau di komplek Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Di kala beliau menghembuskan nafas terakhir, ditunggui oleh seorang putri beliau, Nyai Jamalah, yakni ketika rombongan pembaca Surah Yasin belum hadir.

Sholat Jenazah dilaksanakan bergiliran lantaran banyaknya orang yang bertakziyyah. Imam shalat jenazah kala itu adalah K.H. Manshur (Popongan – Solo), K.H.R. Asnawi (Bendan – Kudus), dan besan beliau K.H. Ma’shum (Suditan - Lasem).

Beliau tidak dimakamkan di kompleks Pesantren Krapyak, melainkan di Pemakaman Dongkelan, yakni sekitar 2 km dari kompleks Pesantren. Dan sepanjang jalan itulah, terlihat Kaum Muslimin dari berbagai golongan penuh sesak mengiring dan bermaksud mengangkat jenazah beliau, sampai-sampai keranda jenazah beliau cukup ‘dioperkan’ dari tangan ke tangan yang lain, sampai di Pemakaman Dongkelan.

Jenazah K.H.M. Moenauwir dikebumikan di sana, dan selama lebih dari seminggu pusara beliau selalu penuh dengan penziarah dari berbagai daerah untuk membaca Al-Quran.

Beliau wafat meninggalkan Pesantren yang merupakan tonggak pemisah suasana. Suasana sebelum dibangun pesantren, Krapyak dikenal sebagai tempat rawan, penuh kegelapan, abangan dan sedikit yang menjalankan ajaran Islam. Bersamaan dengan didirikannya Pesantren, banyak pula usaha busuk dari golongan-golongan Klenik yang dengki dan selalu merintangi perintisan Pesantren.

Namun upaya-upaya itu musnah, dan suasana gelap beralih menjadi ramai dan meriah dengan alunan Ayat-ayat Suci Al-Quran dengan segala konsekuensinya.

Almarhum K.H.M. Moenauwir berwasiyat, agar keluarga melanjutkan perjuangan Pesantren, tepatnya kepada 2 orang putra dan 4 orang menantu. Akan tetapi karena beberapa udzur, perjuangan Pesantren dikawal secara langsung oleh 3 tokoh yang dikenal sebagai Tiga Serangkai;

(1)
K.H.R. Abdullah Affandi (putra beliau dari Nyai R.A. Mursyidah asal Kraton Yogyakarta). Di samping menangani pengajian Al-Quran, beliau juga mengurusi hubungan Pesantren dengan dunia luar. Beliau wafat pada 1 Januari 1968.

(2)
K.H.R. Abdul Qodir (putra beliau dari Nyai R.A. Mursyidah asal Kraton Yogyakarta). Pada tahun 1953, para santri penghafal al-Quran dikelompokkan menjadi satu dalam sebuah wadah, yakni Madrasatul Huffadz yang disponsori oleh K.H.R. Abdul Qodir, dibantu K.H. Mufid Mas’ud (menantu K.H.M. Moenauwir), Kyai Nawawi (menantu K.H.M. Moenauwir) dan Hasyim Yusuf dari Nganjuk. Ada 2 sistem yang ditempuh di Madrasatul Huffadz;

Pertama, adalah Sistem Perseorangan, yakni Kyai menurut kepada santri untuk menghafalkan suatu ayat, surat maupun juz.

Kedua, adalah Sistem Jama’ah Mudarosah, yakni seorang santri disuruh menghafal suatu ayat, surat atau juz, kemudian membacanya lantas berhenti dan dilanjutkan oleh santri yang lain, demikian sampai khatam 30 juz.

Untuk mentash-hih kembali hafalan santri-santri yang sudah khatam, maka diharuskan melakukan ‘Ardloh secara Musyafahah sampai tiga kali khatam. Untuk menguji kelancaran hafalan, adalah dengan dibacanya suatu ayat oleh Kyai dan santri disuruh melanjutkannya. Begitu pula ditanyakan kepada santri tentang letak ayat tersebut dalam surat apa, halaman berapa, bagian mana, lembar kiri atau kanan, ayat nomor berapa, sampai surat baru masih berapa ayat lagi.

Seperti itulah seluk beluk menghafalkan Al-Quran di Madrasatul Huffadz saat itu. Setelah hafal seluruh Al-Quran, maka selama 41 hari dilanjutkan Mudarosah (nderes) dengan mengkhatamkan 41 kali juga.
K.H.R. Abdul Qodir wafat pada 2 Februari 1961

(3)
K.H. ‘Ali Ma’shum (menantu beliau asal Lasem, suami dari Nyai Hj. Hasyimah). Beliau sudah turut mengasuh Pesantren sejak 1943, beliau adalah perintis dan pengasuh pengajian Kitab-kitab selepas K.H.M. Moenauwir wafat, yakni sejak kepulangan beliau dari Tanah Suci dalam rangka menimba ilmu. Dalam penyelenggarannya, beliau menerapkan beberapa sistem, yakni Sistem Madrasi (Klasik) dan Sistem Kuliyah, yang masing-masing dilengkapi dengan Pengajian Sorogan (individual).

Adapun Pengajian Sorogan ini, beliau berlakukan dengan model Semi-Otodidak, yakni dengan ditentukannya suatu kitab oleh K.H. ‘Ali Ma’shum untuk dikaji seorang santri. Tiap sore hari, santri tersebut harus menghadap beliau untuk membaca kitab. Dalam hal ini, santri harus berusaha mempelajarinya sendiri, baik dalam cara membaca maupun menela’ah maknanya, baik dengan bertanya maupun berdiskusi dengan rekan dan kitab yang sudah ada maknanya.

Sedangkan K.H. ‘Ali Ma’shum cukup menyimak bacaan santri sambil mengajukan beberapa pertanyaan, dan membenarkan jika ada kesalahan membaca maupun memahami isinya. Dengan sistem ini, beliau maupun santri telah banyak menghemat waktu serta membuahkan hasil yang memuaskan lagi cermat.
K.H. ‘Ali Ma’shum wafat pada 1989.

Demikianlah estafet kepemimpinan Pesantren terus bergulir, semakin berkembang seiring bertambahnya usia, baik dalam metode maupun corak Pesantren, namun tak lepas dari sentuhan khas salafiyahnya.

Dan tentunya, tetap berkonsentrasi pada misi awal yang dirintis Sang Muassis (Pendiri), yakni membumikan Al-Quran, memasyarakatkan Al-Quran dan meng-al-Quran-kan masyarakat.

Sejarah Perkembangan Ponpes Krapyak Yogyakarta

Sejarah  Perkembangan Ponpes Krapyak Yogyakarta

Posted By admin on August 29th, 2012
Nama Krapyak sebagai kampung terdapat di hampir semua kota, khususnya di Pulau Jawa. Di Yogyakarta, kampung Krapyak juga berada di beberapa tempat, yakni di Kabupaten Sleman dan di Kabupaten Bantul.
Pondok Pesantren Krapyak yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Pondok Pesantren Krapyak yang didirikan oleh KH Mohammad Munawir, terletak sekitar 7 km di sebelah utara dari pusat kota Kabupaten Bantul. Tepatnya, di perbatasan Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta, sekitar 2 km di sebelah selatan Kraton Yogyakarta.
Pesantren Krapyak didirikan oleh KHM Munawir pada tahun 1909-1910 setelah beliau kembali dari belajar di Makkah dan Madinah selama 21 tahun.
Mula-mula KHM Munawir menetap di Kauman, Yogyakarta, di rumah orang tuanya yang bernama KH Abdullah Rasyad salah seorang abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat di bidang spiritual.
Kurang lebih satu tahun beliau membuka pengajian kitab –khususnya Al-Qur’an- di rumah orang tuanya yang kecil itu. Pengajian Al-Qur’an menjadi konsentrasi sesuai dengan disiplin ilmu KHM Munawir yang selama bertahun-tahun di tanah suci mendalami Ulum al-Qur’an. Namun demikian tidak berarti beliau meninggalkan kitab-kitab lain.
Yang menarik adalah rumah KH Abdullah Rasyad yang menjadi ajang pengajaran KHM Munawir hanya beberapa meter saja dari rumah KH Ahmad Dahlan yang juga menyelenggarakan kegiatan pengajaran. KHM Munawir dan KH Ahmad Dahlan adalah teman belajar di tanah suci yang sama-sama belum lama pulang ke Yogyakarta.
Dalam kiprahnya, kedua kiai muda tersebut menggunakan pola yang berbeda. KHM Munawir menggunakan sistem pesantren, sementara KH Ahmad Dahlan menggunakan sistem madrasi (klasikal).
Di kemudian hari, kedua tokoh tersebut menjadi perintis di bidangya masing-masing. KHM Munawir menjadi perintis bagi berdirinya pesantren di Yogyakarta dan juga di tempat-tempat lain, sedang KH Ahmad Dahlan sebagai perintis berdirinya sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Di Kauman KHM Munawir menghadapi problem sempitnya tempat pengajian hingga suatu saat datang KH Sa’id, seorang ulama dari Gedongan, Cirebon memberi saran kepada KHM Munawir untuk mencari tempat di luar beteng Kraton, di samping menurut KH Sa’id, lingkungan Kauman kurang cocok untuk berdirinya Pesantren.
16 Saran tersebut diterima oleh KHM Munawir hingga akhirnya dipilih dusun Krapyak, kawasan yang ditumbuhi pepohonan lebat, satu setengah kilo meter di selatan Plengkung Gading (pintu gerbang masuk Kraton). Tanah Krapyak itu, konon dibeli dengan uang amal Haji Ali dari Graksan, Cirebon atas saran KH Sa’id.
Dalam khidmahnya, KHM Munawir berhasil membentuk kader bagi ahli-ahli Al-Qur’an di berbagai daerah. Mereka antara lain, KH Umar Magkuyudan Solo, KH Arwani Kudus, KH Umar Cirebon, KH Muntaha Wonosobo, KH Murtadlo Cirebon, KH Yusuf Agus Indramayu, KH Aminuddin Bumiayu, KH Zuhdi Kertosono, KH Abu Amar Kroya, KH Hasan Tholabi Kulonprogo, KH Dimyathi Bumiayu, KH Fathoni Brebes, KH Basyir Kauman Yogya, dsb. Setelah pulang dari Krapyak, umumnya mereka mendirikan pesantren tahfidhul Qur-an dan menjadi ahli-ahli dalam bidang Ulumul Qur’an.
Pada masa pendudukan Jepang, seperti halnya pesantren lain pada umumnya, pesantren Krapyak mengalami cobaan sangat berat, hampir gulung tikar, karena selama 2 tahun santrinya pulang kampung akibat politik Jepang yang menyebabkan bangsa Indonesia mengalami “susah sandhang, susah pangan” (susah pakaian dan susah makan). Apalagi pesantren Krapyak juga masih berkabung dengan wafatnya KH Muhammad Munawir, pada hari jum’at, 11 Jumadil Akhirah 1361H (1942 M) sementara putera puteri Almarhum masih terlalu muda untuk diberi tanggung jawab mengelola pesantren.
Akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk memboyong Kiai Ali (menantu KHM Munawir yang dinikahkan dengan Nyai Hasyimah) dari pesantren “Al-Hidayat” Lasem yang sedang dibenahi karena juga menghadapi problem akibat politik Jepang.
Setelah tiga kali diminta keluarga Krapyak, meskipun dengan berat hati KH Ali menerima ajakan itu. Demikain juga KH MA’shum (ayahanda KH Ali) dan semua keluarga Lasem akhirnya merelakan kiai Ali untuk diboyong ke Krapyak, Yogyakarta.
Di Krapyak, Kiai Ali langsung mengambil langkah strategis, yaitu menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sebagai upaya mencetak kader, sebelum mencetak santri-santri lainnya. Kiai Ali-pun hanya yakni para putera dan cucu serta menantu Almarhum KHM Munawir.
Mereka adalah Abdul Qadir, Mufid Mas’ud, Nawawi Abd Aziz, Dalhar, Zainal Abidin, Abdullah Affandi, Ahmad dan Warson. Beberapa orang tetangga yang diikutkan adalah Wardan Joned (Kauman), Zuhdi Dahlan dan Abdul Hamid. Selama 2 tahun (1943-1944), Kiai Ali menggembleng mereka secara marathon hingga akhirnya mereka menjadi para kiai yang secara bersama-sama membesarkan pesantren Krapyak.
Beriringan dengan itu, pesantren Krapyak dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Al-Munawir, diambilkan dari nama Alm. KHM Munawir.
Sejak Kiai Ali memimpin, terjadi keseimbangan antara pengajian Al-Qur’an dengan pengajian kitab-kitab (kuning), hal ini menyebabkan dominasi pengajian Al-Qur’an mendapat partner.
Kiai Ali sendiri lebih senang memberikan pengajian kitab-kitab kuning baik secara ‘bandongan’ maupun ‘sorogan’. Hal yang sama juga dilakukan oleh putra beliau KH Atabik Ali serta menantu beliau KH Mohd. Hasbullah.
Demikian juga putra-putra Alm. KHM Munawir yang lain juga mengajar kitab-kitab kuning seperti KH Zainal Abidin, KHA Warson dan KH Dalhar. Sementara pengajian Al-Qur’an ditangani oleh KH Ahmad, KH Zaini, KH Najib Abdul Qodir, KH Hafid Abdul Qadir serta putri-putri kiai Ali; Hj. Nafisah dan Hj. Ida Rufaida juga menantu Hj. Lutfiyah Jirjis.
Sedang KH Nawawi Abd Aziz yang telah memimpin pesantren An-Nur, Ngrukem, Bantul dan KH Mufid Mas’ud yang juga memimpin pesantren Sunan Pandanaran, Ngaglik, Sleman juga mengkonsentrasikan diri untuk mengajar Al-Qur’an.
Sepeninggal KH Ali Maksum, pesantren Krapyak mengalami perkembangan luar biasa, (hingga tulisan ini dibuat) asset pesantren “Al-Munawwir” dipimpin oleh putera-putera KHM Munawir seperti KH Zainal Abidin Munawir, KHA Warsun Munawir, dan cucu-cucu KHM Munawir. Sedang aset pesantren yang merupakan pengembangan oleh KH Ali Maksum dikelola dalam Yayasan Ali Maksum dengan sesepuhnya KH Atabik Ali, dibantu para putera yang lain dan cucu dari KH Ali Maksum.
Saat ini Krapyak telah menjadi kompleks perguruan Islam yang mendekati komplit sejak Taman Kanak-kanak, Madrasah Diniyah Awaliyah, Wustha dan Ulya, Madrasah Tsnawiyah dan Aliyah, SMP, program Takhassus dan Tahfidhul Qur’an, Ma’had Ali, Lembaga Kajian Islam Mahasiswa (LKIM), pengajian masyarakat tiap Jum’at Legi dan Sabtu Pon serta pengajian (mujahadah) Padang Jagat. Sumber: NU Online

KAMPUNG DIPOWINATAN : KEHIDUPAN SOSIAL YANG MENARIK WISATAWAN

KAMPUNG DIPOWINATAN :

KEHIDUPAN SOSIAL YANG MENARIK WISATAWAN

dipowinatan, kampung wisata


Kampung Dipowinatan tidak jauh dari pusat kota kurang lebih hanya 1 km dari Maliobro dan 700 m dari titik nol. Secara administrasi kampung Dipowinatan masuk kelurahan Keparakan, kecamatan Mergangsan, kota Yogyakarta, daerah istimewa Yogyakarta.
dipowinatan, kampung wisata
Secara sepintas kampung ini tidak berbeda dengan kampung lain, namun perhatikan jika anda masuk kedalamnya lingkungan sepanjang jalan kampung ini tertata dengan sangat rapi dan teratur sehingga menyuguhkan lingkungan yang bersih serta menarik untuk dikunjungi. Dan jangan kaget jika anda dikalungi untaian bunga yang diberikan secara tulus oleh masyarakat. Semua masyarakat Kampung ini sudah berkomitmen menjaga kehidupan berdasarkan nilai-nilai sosial budaya, serta melestarikan tradisi. Kampung ini diresmikan sebagai Kampung wisata sejak 4 Nopember 2006. Peresmian kampung ini sebagai kampung wisata sangat istimewa karena selain dihadiri pejabat dari instansi terkait juga dihadiri oleh tamu dari luar negeri yakni dari Negara Republik Ceko, Slovakia, dan Colombia. Serta tidak ketinggalan mantan Gubernur Jawa tengah, Bp. Mardiyanto yang dahulunya menghabiskan masa anak-anak hingga remajanya di kampung tersebut. Terwujudnya kampung wisata ini pun merupakan keinginan warganya sendiri bukan karena keinginan pemerintah setempat, sehingga kesadaran untuk saling menjaga dan turut aktif dalam kegiatan dan pelayanan pariwisata.
dipowinatan, kampung wisata


Kampung Dipowinatan tidak mengandalkan hasil kerajinan atau pun hasil produksi barang barang namun kearifan lokalnya berupa suasana kampung serta realita kehidupan sosial masyarakatnya. yang mereka sampaikan kepada pengunjung, dengan demikian mereka dapat berinteraksi secara langsung dengan semua lapisan masyarakat yang ada. Ketulusan dan kehidupan sehari hari inilah yang menjadi kesan tersendiri bagi wisatawan yang mengunjungi kampung Dipowinatan. Hal tersebut membuat turis yang pernah berkunjung tidak akan lupa akan keramahan kampung tersebut bahkan mungkin mereka akan menceritakan kepada teman-teman mereka jika berlibur ke Yogya disarankan untuk mengunjungi kampung ini. Kebanyakan tamu yang senang mengunjungi
Kampung ini adalah wisatawan mancanegara yang dari tahun ke tahun mengalami kenaikan dari jumlah pengunjung. Oleh karena itu Kampung ini justeru teklah terkenal sampai ke beberapa Negara didunia. Diantaranya dari kawasan Eropa timur, meliputi Republik Ceko, Swiss, Slovakia, dan juga Hongaria. Untuk Republic Ceko sendiri hubungannya sudah cukup baik hampir setiap tahun pemerintah Republic Ceko mengirimkan wisatawan untuk berlibur ke kampung Dipowinatan. Rata rata kunjungan wisatawan berasal dari kawasan eropa namun saat ini sudah mulai dikembangkan ke kawasan asia dan Australia.
Dikampung ini anda dapat berinteraksi dengan masyarakat tertentu kemudian jika bertepatan dengan sebuah hajatan misalnya sebuah pernikahan maka para tamu diharapkan juga ikut datang untuk mengikuti acara tersebut.  Kampung ini juga penuh dengan sejarah yakni pernah menjadi saksi konggres jong java pada 25-31 Desember 1928 yakni di dalem joyodipuran sebelumnya juga pernah menjadi penyelenggara Konggres Perempuan ke 1 dan sekarang sebagai Kantor Balai Kajian Sejarah dan Nilai tradisional Yogyakarta. Menilik keberadaan sekeliling kampung masih banyak dijumpai bangunan bangun tua yang menambah eksotisme kampung ini. Paket lain menawarkan sebuah pentas kesenian dan berbagai atraksi  yang penuh dengan tradisi jawa. Yang di iringi musik tradisional dengan seperangkat gamelan. Rute yang dapat ditempuh dari titik nol Yogyakarta ke timur sampai perempatan Gondomanan belok ke kanan terus mengikuti jalan sampai dengan purawisata belok kiri maka akan menemukan kampung wisata Dipowinatan

Kampung Kauman-Jogjakarta, Pesona Perjuangan Islam



Kampung Kauman, Pesona Perjuangan Islam

Sebuah persimpangan akan dijumpai sesampai di ujung Jalan Malioboro. Orang seolah dihadapkan pada pilihan hendak ke mana kemudian. Hingga hari ini, lebih banyak orang memilih untuk berjalan terus ke kawasan Kraton tanpa sadar mereka telah melewatkan salah satu pesona yang tersimpan di kawasan itu, Kampung Kauman. Daerah yang akan dijumpai bila memilih berbelok ke kanan, melewati Jalan K.H. Ahmad Dahlan, dan masuk ke sebuah gapura yang ada di kiri jalan.
Kampung Kauman pada jaman kerajaan merupakan tempat bagi 9 ketib atau penghulu yang ditugaskan Kraton untuk membawahi urusan agama. Sejak ratusan tahun lampau, kampung ini memiliki peran besar dalam gerakan keagamaan Islam. Di masa perjuangan kemerdekaan, kampung ini menjadi tempat berdirinya gerakan Islam Muhammadyah. Saat itu, seorang muslim bernama K.H Ahmad Dahlan yang menjadi pendiri gerakan tersebut merasa prihatin karena banyak warga terjebak dalam hal-hal mistik. Di luar itu, K.H. Ahmad Dahlan juga menyempurnakan kiblat sholat 24 derajat ke arah barat laut (arah Masjid al Haram di Mekkah) serta menghilangkan kebiasaan selamatan untuk orang meninggal.
Gapura yang bagian atasnya berbentuk lengkung akan menyambut sebelum memasuki Kauman. Bentuk lengkung itu merupakan salah satu ciri bangunan Islam yang banyak mendapat pengaruh dari Timur Tengah. Di bagian atas gapura, akan ditemui gambaran berbentuk lingkaran berwarna hijau dengan matahari bersinar 12 yang berwarna kuning di dalamnya. Gambaran tersebut sampai saat ini masih dipakai Muhammadyah sebagai lambang organisasi sekaligus institusi lain yang bernaung di dalamnya.
Menyusuri gang-gang kampung Kauman harus dengan berjalan kaki. Selain ada tanda dilarang memakai kendaraan yang dipasang di dekat gapura, jalan di Kauman sengaja dirancang agar menyulitkan kendaraan masuk. Perancangan itu bermaksud agar kebisingan tidak mengganggu kesibukan para santri belajar dan sebagai wujud filsafat kesetaraan di Kauman dimana setiap orang yang masuk diwajibkan menangggalkan status sosialnya dengan berjalan kaki.
Di kanan kiri gang, anda akan melihat ragam bangunan dengan berbagai desain rancang bangunnya. Sebuah rumah berwarna kuning yang kini dipakai penghuninya membuka retail akan ditemui tak jauh dari gapura. Rumah tersebut memiliki pintu, jendela, dan ruangan besar, serta ventilasi yang berhias kaca warna menunjukkan pengaruh arsitektur Eropa. Berjalan ke ujung gang dan berbelok ke kanan, akan dijumpai rumah berwarna putih dengan kusen jendela dan pintu berwarna coklat. Daun jendela yang bagian atasnya berbentuk lengkung menunjukkan kuatnya pengaruh Timur Tengah. Tepat di depan rumah itu, terdapat rumah berwarna biru dengan desain atap mirip rumah Kalang di Kotagede.
Di ujung gang sebelum berbelok, bila cermat anda akan menemukan sebuah monumen yang dikelilingi taman kecil. di monumen itu terdapat tulisan "Syuhada bin Fisabillillah", tahun 1945 - 1948, dan daftar nama yang memuat 25 orang. Monumen itu didirikan untuk memperingati jasa warga Kauman yang meninggal ketika ikut berperang memperjuangkan kemerdekaan. Kata 'Syuhada' menunjukkan bahwa warga Kauman yang tinggal kini menganggap para pejuang tersebut mati syahid.
Selain bisa melihat nama-nama pejuang kemerdekaan yang meninggal pada masa perang, anda juga bisa menemui salah satu pejuang yang kini masih hidup. Satu diantaranya adalah H. Dauzan Farook yang tinggal tak jauh dari pintu keluar kampung Kauman. Menurut ceritanya, saat perang kemerdekaan, ia ikut bergerilya bersama Panglima Besar Jendral Sudirman. Beberapa foto bersama sang panglima besar, newsletter pada masa perang kemerdekaan, dan berita-berita dari koran saat itu hingga kini masih disimpannya.
Di rumah Dauzan, anda juga akan mengetahui bahwa sampai kini pun ia masih berjuang. Ia mendirikan sebuah perpustakaan yang dikelola mandiri bernama Perpustakaan Mabulir. Setiap hari ia berkeliling dengan sepeda untuk menawarkan buku kepada masyarakat. Semua bukunya dipinjamkan hanya dengan satu syarat, orang yang dipinjami mesti mengumpulkan setidaknya 5 orang. Menurutnya, itu merupakan suatu bentuk kepedulian pada orang lain dan ajakan agar ilmu tidak dipendam untuk diri sendiri.
Sebuah sekolah lanjutan yang telah berdiri sejak 1919 juga dapat dijumpai di kampung ini. Awal berdirinya, sekolah itu bernama Hooge School Muhammadyah dan kemudian diganti menjadi Kweek School pada tahun 1923. sekolah yang juga didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan itu pada tahun 1930 dipecah menjadi dua, untuk laki-laki dan perempuan. Sekolah untuk laki-laki dinamai Mualimin dan untuk Perempuan dinamai Mualimat. Selanjutnya, istri Ahmad Dahlan juga mendirikan Yayasan Aisyah untuk kaum perempuan.

Bangunan paling dikenal yang termasuk dalam kompleks Kampung Kauman adalah Masjid Agung. Masjid yang menjadi masjid pusat di wilayah Kesultanan itu didirikan sejak 16 tahun setelah berdirinya Kraton Yogyakarta. Arsitektur masjid yang sepenuhnya bercorak Jawa dirancang oleh Tumenggung Wiryakusuma. Bangunan masjid terdiri atas inti, serambi, dan halaman yang keseluruhannya seluas 13.000 meter2. Bangunan serambi dibedakan dari bangunan inti. Tiang-tiang penyangga masjid misalnya, pada bangunan inti berbentuk bulat polos sebanyak 36 sedangkan pada bagian serambi tiangnya memiliki umpak batu bermotif awan sebanyak 24 buah.
Kalau sudah menjelajahi semuanya, anda akan mengakui kehebatan warga kampung kecil ini dan mempercayai bahwa Islam telah membawa perbaikan. Buktinya, sejumlah tokoh Islam Indonesia seperti Abdurrahman Wahid dan Amien Rais pernah belajar di kampung ini. Namun, jika belum puas berkelana, masih ada satu tempat lagi yang bisa dijajaki, yaitu Langgar Ahmad Dahlan. Dahulu, bangunan itu digunakan K.H. Ahmad Dahlan untuk mengadakan acara Sidratul Muntaha, sebuah pelajaran mengaji dan berdakwah. Langgar lain yang cukup legendaris adalah Langgar Putri Ar Rosyad yang merupakan langgar putri pertama di Indonesia. Bagaimana, cukup memuaskan? Jika sudah puas, barulah anda menuju ke kompleks Kraton lewat pintu keluar kampung.Naskah & Photo: Yunanto Wiji Utomo
Artistik: Sutrisno
Copyright © 2006 YogYES.COM